Ketika ajal
menjemput dan berkata, “Sekarang!” kita tak akan pernah punya waktu untuk
berkata, “Sebentar, saya belum siap. Saya belum berkemas-kemas. Belum
mempersiapkan bekal untuk di perjalanan. Belum mempersiapkan baju terbaik untuk
kehidupan baru!” Ya, tak ada perpanjangan waktu dan ketika saat itu betul-betul
tiba penyesalan tiada lagi berguna.
Dari orang
tua, kita tahu kapan, di mana, dan bagaimana kita lahir, tetapi dari siapa pun
kita tak akan pernah tahu kapan kita “pulang”. Bahkan dokter yang dibantu
alat-alat terbaru dan canggih pun hanya bisa membuat perkiraan. Oleh karenanya
jangan pernah berkata, “Nanti!” untuk membuat persiapan “pulang” karena kita
tak pernah tahu apakah kita masih punya “nanti”.
Jangan
pernah berkata, “Saya belum siap!” Kesiapan berhubungan dengan kemauan dan
kemauan berhubungan dengan kesadaran. Bangunlah kesadaran, dari mana kita
datang, apa tujuan kelahiran kita, ke mana kita akan kembali, dan dalam keadaan
apa kita ingin kembali. Kita memang tak perlu berpikir tentang: dengan cara
bagaimana kita “pulang” karena cara bukan dalam kendali kita. Ungkapan,
“Orangnya baik, kok matinya seperti itu?” menunjukkan bahwa “seperti itu” (cara
kematian) berada di luar kendali kita, tetapi “orangnya baik” adalah pilihan
yang bisa kita lakukan. Dalam hal ini, kita bisa membina diri kita untuk hidup
sesuai ajaran-ajaran Agama yang tertuang dalam Weda dan berbagai cabangnya.
Bila
kesadaran tentang tujuan kelahiran dan kemana kita akan kembali maka pasti
dengan mudah kita akan memiliki kemauan dan kesiapan untuk membangun hidup di
jalan rohani. Hidup di jalan rohani bukan berarti meninggalkan kehidupan
duniawi, meninggalkan keluarga, pekerjaan, masyarakat, dan pergi ke hutan untuk
bertapa. Kita bisa tetap hidup normal di dalam jalan rohani. Yang kita ubah
hanya dasar dan tujuan dari kehidupan kita.
Hidup di
jalan rohani berarti kita bangun pagi dalam kesadaran Paramatman. Yang kita
ingat pertama saat terjaga dari tidur adalah Sang Hyang Parama Kawi, Tuhan Sang
Maha Pencipta, sebagai bentuk syukur bahwa kita telah bangun dengan sehat di
pagi hari ini. Selanjutnya kita warnai hidup kita secara rohani. Kalau dulu
kita bekerja hanya demi mengejar kekayaan untuk kepuasan pribadi, kepuasan
lidah, perut, keakuan, dan kelamin maka sekarang kita bekerja untuk mengejar
kekayaan demi pelayanan pada Hyang Widhi secara langsung maupun melalui
pelayanan pada sesama.
Hindu tidak
melarang manusia menjadi kaya. Empat pilar yang disebut Catur Purushartha yang
terdiri dari Dharma, Artha, Kama, dan Moksha justru mengajarkan kita memiliki
artha (kekayaan) yang tentunya berlandaskan dharma (kebenaran utama/ajaran
Weda). Kata “artha” dalam Purushartha bermakna penyebab, sedangkan kata “Purusha”
bermakna kemuliaan.
Dalam jalan
rohani hubungan keluarga tidak semata-mata hubungan duniawi. Hubungan
suami-istri bukan semata-mata untuk kebahagiaan duniawi, melahirkan anak bukan
semata-mata kepentingan duniawi, menghormati orang tua bukan formalitas cium
tangan, dan sebagainya. Kewajiban suami istri dilakukan dalam kesadaran rohani
seperti yang diajarkan dalam Manawa Dharma Shastra. Melahirkan anak adalah
sebagai kewajiban menyiapkan generasi yang dharmika (mulia dan menjalankan
ajaran Dharma). Menghormati orang tua adalah untuk menghargai pengorbanan mereka
sehingga kita ada seperti sekarang ini. Setidaknya, yang telah memberi jalan
kita lahir sebagai manusia.
Maharshi
Canakya mengajarkan: ahara nidrabhaya maithunani samani caimani nrnam pashunam,
jnanam naranamadhiko vishesho jnanena hinah pashubhih samanah (Canakya Niti Shastra,
XVII, 17) yang artinya: Makan, tidur, kecemasan dan hubungan kelamin, semua itu
adalah persamaan binatang dengan manusia. Kelebihan sifat manusia adalah
pengetahuan. Orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan sama dengan binatang.
Demikianlah maka kita menggunakan pengetahuan duniawi untuk mencukupi kebutuhan
hidup kita di dunia dan menggunakan pengetahuan rohani sebagai dasar hidup
duniawi dan sebagai sarana menghadapi “hidup masa depan”. Dengan demikian kita
tidak sekedar menjadi “dvipada pashu” alias binatang berkaki dua.
Saat yang
tepat untuk memiliki pengetahuan rohani dan
membina diri agar selalu hidup di jalan rohani sesuai ajaran Weda adalah
sekarang, berapa pun usia kita saat ini. Tidak menunggu nanti, besok, lusa, minggu
depan, bulan depan, atau tahun depan. Sastra suci mengajarkan “athato
brahma-jijnasa”, sekaranglah saatnya
mempelajari (pengetahuan tentang) Brahman (Tuhan).
Lalu, apa
syarat untuk hidup di jalan rohani? Apakah harus jadi orang suci? Saya pernah
berkata pada beberapa orang bahwa piring kotor itu jadi bersih setelah dicuci.
Bukan karena bersih dia dicuci. Kalau sudah bersih untuk apa dicuci lagi?
Contoh lain yang saya sampaikan ketika ada yang berkata belum siap menempuh
hidup rohani adalah, “Punya SIM dulu baru belajar setir motor atau belajar dulu
supaya bisa ujian dan dapat SIM?”. Kalau menunggu siap, kapan siapnya? Aneh
kan, menunggu pintar dulu baru belajar. Mungkin kita masih ingat betapa
semangatnya kita saat pertama masuk TK/SD padahal saat itu kita belum bisa
membaca dan menulis. Setelah beberapa waktu bersekolah barulah kita mulai bisa
membaca dan menulis. Demikian juga menempuh hidup di jalan rohani. Bukan
menunggu suci dulu atau menjadi suci dengan tiba-tiba.
Kalau toh
mungkin kita adalah orang paling berdosa, bukanlah halangan untuk memutuskan
mulai hidup di jalan rohani. Ingatlah kisah Ratnakara, seorang penjahat besar, yang kemudian menjadi Maharshi Walmiki dan
mendapat karunia untuk menulis kitab Ramayana. Beliau dulunya adalah seorang penjahat
besar. Pesan Shri Krshna dalam Bhagavad gita IX, 30 adalah, “Api cet suduracaro
bhajate mam ananya bhak, sadhur eva samantavyah samyag vyavasito hi sah [Walau orang yang paling berdosa sekali pun
datang kepada-Ku, memuja-Ku dengan
penuh rasa bhakti tanpa menyimpang, maka orang seperti itu hendaknya diterima sebagai orang suci karena ia memiliki tekad yang mantap].” Narayana akan menerima siapa pun
yang datang pada-Nya dengan keyakinan yang mantap dan penuh rasa bhakti yang
tulus.
Tak perlu
menunggu air mata berlinang untuk mendekatkan diri dan berserah diri pada
Tuhan. Mari kita lakukan hari ini. Sekarang.
Sarve
sukinah bhavantu (semoga semua makhluk berbahagia).
(widyastana)
(Telah dimuat di harian Surabaya Post tanggal 27 November 2012)
(Telah dimuat di harian Surabaya Post tanggal 27 November 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar