Umat
Hindu tak bisa dilepaskan dari Yajña (persembahan suci yang tulus ikhlas).
Tampak jelas bahwa Yajña menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup dan
kehidupan manusia Hindu. Bahkan bisa dikatakan manusia Hindu terbentuk dari Yajña.
Bersatunya pria dan wanita sebagai sepasang suami istri dilakukan melalui Yajña
dalam wīwāha saṁskāra. Salah satu tujuan dari wīwāha saṁskāra adalah menyucikan
benih kedua mempelai sehingga terlahir keturunan yang diharapkan.
Selanjutnya,
ketika pertama kali diketahui adanya pembuahan dilakukan suatu upacara tertentu
sebagai rasa syukur dan permohonan pada Hyang Widhi agar benih yang tumbuh
dapat terus tumbuh dan berkembang dengan sehat. Demikian juga agar kedua orang
tua tetap sehat untuk menjaga benih tersebut. Demikian seterusnya hingga
datangnya kematian, hidup manusia Hindu pun ditutup oleh Yajña.
Dasar
hukum dari pelaksanaan Yajña adalah Weda. Yajur Weda XXIII.62 menyebutkan “ayaṁ
yajño bhuvanasya nābhiḥ” yang artinya: Yajña adalah pusat dari (pergerakan)
alam semesta”. Yajña berfungsi untuk penyucian dan kemuliaan, seperti yang
tertuang pada Ṛg Weda VIII.19.6 “tasyedarvanto raṁhayanta āśavastasya
dyumnitamaṁ yaśaḥ, na tamaṁho devakṛtaṁ kutaścana na martya-kṛtaṁ naśat” (dia yang
melaksanakan Yajña dengan teratur, mendapatkan kuda yang cepat geraknya.
Kemashyuran yang mulia menyebar ke mana-mana. Dia tidak pernah dipengaruhi oleh
dosa).
Bhagawad
gita adhiaya III shloka 14 menyebutkan annād bhavanti bhūtāni parjanyād anna-sambhavaḥ,
yajñād bhavati parjanyo yajñaḥ karma-samudbhavaḥ (Semua
makhluk hidup dilahirkan dari makanan. Makanan dilahirkan dari hujan. Dan hujan
turun karena pelaksanaan persembahan-persembahan suci Yajña. Selanjutnya, persembahan suci Yajña terlahir dari perbuatan). Dari shloka ini dapat disimpulkan
bahwa semua makhluk hidup bersumber dari Yajña. Dari Yajña-lah munculnya segala
kebutuhan yang diperlukan bagi berkembang dan bertumbuhnya semua makhluk hidup.
Bagaimana
Yajña menghadirkan hujan yang kemudian menyediakan kebutuhan hidup semua
makhluk? Dalam shloka 26 adhyaya IX Bhagavad gita, patraṁ puṣpaṁ phalaṁ toyaṁ yo
me bhaktyā prayacchati, tad ahaṁ bhakty-upahṛtam aśnāmi prayatātmanaḥ (Mereka
yang dengan penuh rasa bhakti mempersembahkan kepada-Ku (walaupun hanya
selembar) daun, (sekuntum) bunga, (satu) buah dan (setetes) air, (jika) semua
itu dipersembahkan dengan penuh bhakti oleh mereka yang berhati suci murni,
maka Aku akan menerimanya). Tentu saja Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang
Maha Kuasa) tidak butuh buah untuk dimakan atau air untuk diminum, juga daun
dan bunga. Syarat-syarat itu sebetulnya adalah untuk kepentingan umat manusia
sendiri.
Sebagai
umat yang berbhakti pada Sang Maha Pencipta maka tentu saja kita akan berusaha
memenuhi ajaran-ajaran yang telah diberikan. Termasuk kita pun berusaha
memenuhi kewajiban mempersembahkan daun, bunga, buah, dan air. Agar bisa selalu
melakukan Yajña dengan sarana persembahan yang telah ditetapkan tentu sarananya
harus selalu tersedia. Sepanjang umat Hindu melakukan Yajña maka sepanjang
itulah sarana Yajña harus tersedia. Agar kebutuhan Yajña tersedia, tentu saja
kita harus menanam dan memelihara pohon serta menjaga sumber-sumber air agar
tetap mengalir dan terjaga kebersihannya.
Umat
Hindu menjadi terarah untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Dengan
tumbuhnya pepohonan, yang sekedar menghasilkan bunga dan yang menghasilkan
buah, dan terjaganya sumber air maka akan memberikan makanan yang cukup bagi
semua makhluk. Tidak hanya manusia. Lebah-lebah mengisap sari bunga yang
kemudian menghasilkan madu. Kebutuhan pakan ternak tersedia dengan baik. Sapi
yang sehat mampu memberi susu yang baik yang menyempurnakan kebutuhan gizi
manusia.
Dalam
tradisi Yajña di Bali, khususnya dalam upacara-upacara besar, dibutuhkan
berbagai macam jenis daun, kayu, buah, dan bunga yang menjadi simbol-simbol (yantra)
tertentu dari mantra. Bahkan beberapa jenis rumput pun diperlukan untuk
sebuah Yajña. Bagi yang tidak paham akan fungsinya, beberapa pohon tampak seperti
semak yang mengganggu.
Dari
syarat dasar yang telah disampaikan di atas, manusia dengan kreatifitasnya
kemudian membuat berbagai bentuk persembahan yang merupakan yantra (simbol)
yang memiliki makna-makna spiritual yang tinggi dan indah. Yang paling
sederhana misalnya adalah porosan. Poros berarti inti. Porosan
menjadi inti setiap banten yang selalu ada dalam setiap banten. Ia terdiri dari
daun sirih, kapur sirih, dan buah pinang. Buah pinang yang berwarna kemerahan
melambangkan Dewa Brahma; daun sirih yang berwarna gelap melambangkan Dewa
Wishnu (warna simbol Wishnu sebetulnya adalah hitam); dan kapur sirih yang
berwarna putih adalah simbol Dewa Shiva. Dewa (sering juga ditulis Deva)
berasal dari kata dew/dev yang berarti cahaya kemuliaan Tuhan.
Brahma, Wishnu, dan Shiwa adalah kekuatan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara,
dan pelebur. Semua yang ada di alam ini diciptakan, dipelihara, dan akhirnya
dilebur kembali ke Pañca Maha Bhūta (air, udara, tanah, angin, dan
kekosongan). Ini bukan berarti ada tiga Tuhan. Tuhan hanyalah satu, tunggal, ekam
evādwitīyaṁ Brahman: hanya satu dan tidak ada duanya Sang Maha Pencipta
(Tuhan) itu. Ini seperti matahari yang satu yang memiliki berbagai spektrum
cahaya dengan energi/kekuatan masing-masing.
Selanjutnya tentang Yajña, Śrī Kṛṣṇa mengajarkan, yat karoṣi yad aśnāsi yaj juhoṣi dadāsi yat, yat
tapasyasi kaunteya tat kuruṣva mad-arpaṇam, Apa pun yang engkau
lakukan, apa pun yang engkau makan, apa pun yang engkau persembahkan, apa pun
yang engkau berikan, serta pertapaan apa pun yang engkau lakukan, wahai putra
Kunti, lakukanlah semua itu sebagai persembahan kepada-Ku.
Jadi,
Tuhan mengajarkan agar kita mempersembahkan segala aspek kehidupan kita pada
Beliau. Karena semua aspek kehidupan kita adalah Yajña maka tentu saja kita
harus menjaga hidup kita, yang kita lakukan, yang kita makan, terjaga tetap
indah karena hanya sesuatu yang indah sajalah yang layak dipersembahkan pada
Tuhan. Mari kita singkirkan segala kekotoran dalam diri kita, dalam pekerjaan
kita, dalam pergaulan kita. Jauhi makanan dan minuman yang tak layak
dikonsumsi, baik secara kesehatan maupun rohani. Jauhi kehidupan yang kotor.
Agar kita layak datang pada Tuhan dan mempersembahkan seluruh kehidupan kita
pada-Nya.
Sarwe
sukhinah bhawantu, semoga semua makhluk berbahagia.
(widyastana)