Meditasi Bukan Sekedar Gaya Hidup

Meditasi semakin dikenal dan diminati oleh banyak orang tanpa memandang latar belakang ras, suku, agama, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman indah dari orang-orang yang telah mempraktikan meditasi menjadi hal yang menarik sehingga menumbuhkan keinginan semakin banyak orang untuk mencoba laku meditasi.

Walau meditasi telah dikenal luas, tetapi belum banyak yang menyadari bahwa meditasi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Bila mau dicermati, meditasi adalah 3 bagian akhir dari Añöāìga Yoga atau Delapan (aṣṭa) Tahapan (aṅga) untuk mendekatkan diri pada Tuhan (yoga berasal dari kata yuj yang berarti mendekat atau bergabung) yang terdiri dari:
1.      Yama (pengendalian pikiran): satya (kebenaran), asteya (tidak menginginkan milik orang lain), aparigraha (tidak serakah), brahmacarya (pengendalian nafsu seksual), dan ahiṁsā (tanpa kekerasan, baik fisik maupun non fisik);
2.      Niyama (pengendalian diri): śauca (menjaga kebersihan lahir batin), santoña (selalu berpuas hati dalam segala keadaan), tapa (pengendalian diri dalam berpikir, berkata, dan bertingkah laku), svādhyāya (tekun belajar dan melaksanakan ajaran-ajaran suci dan petunjuk guru), dan īśvarapraṇidhana (tekun memuja Tuhan Yang Maha Esa);
3.      Prāṇāyāma : Teknik memahami dan menyadari masuk dan keluarnya nafas. Prāṇa” berarti “nafas hidup” dan “āyāma” berarti raja;
4.      Āsana : sikap-sikap tubuh yang dipadukan dengan pengaturan nafas yang membawa kepada kesehatan lahir dan bathin. Misalnya: padmāsana, sarvāṅgāsanaśīrṣāsana, dan lain-lain. Surya Namaskara merupakan rangkaian gerakan āsana. Gerakan-gerakan āsana ini yang sering secara sempit diartikan sebagai yoga;
5.      Prātyāhāra : pengendalian indria-indria.
6.      Dharaṇa : memusatkan pikiran pada sebuah obyek meditasi yang bersifat spiritual;
7.      Dhyāna : yaitu tahap menyadari obyek itu sebagai bagian dari diri kita, ada di dalam diri kita;
8.      Samādhi : merupakan tahap ketika kita sampai pada kesadaran bahwa obyek dan kita adalah satu, tak terpisahkan.

Secara ideal delapan tahapan ini seharusnya dijalankan dengan baik. Sayangnya, dalam dunia yang semakin instant ini, kebanyakan orang ingin langsung masuk ke tahapan meditasi tanpa menyempurnakan diri di tahapan sebelumnya. Para Guru rohanipun melakukan teknik menyusupkan ajaran-ajaran Aṣṭāṅga Yoga kepada murid-muridnya secara perlahan sambil membimbing mereka belajar meditasi sesuai keinginan sang murid.

Dari mereka yang tertarik untuk menekuni meditasi ada yang langsung berani mencoba, tetapi ada juga yang masih ragu. Keraguan terbesar adalah masalah konsentrasi. Orang-orang yang sudah menekuni meditasi pun sering bertanya-tanya, “Mengapa saya belum bisa memusatkan pikiran dengan baik?” atau “Sudah sampai di mana kemajuan saya?” atau “Apa yang sudah saya dapatkan dari meditasi yang dilakukan selama sekian waktu ini?”

Pikiran ini memang liar. Dikatakan bahwa pikiran itu lebih cepat dari angin. Bahkan mungkin lebih cepat dari cahaya. Meditasi dalam tahap "dharana" adalah tahap untuk belajar mengendalikan pikiran yang liar tersebut. Diperlukan ketekunan dan kesungguhan untuk berlatih setiap waktu. Salah satu teknik meditasi yang penulis tekuni, yaitu Meditasi Angka, menyediakan sebuah teknik yang sangat sederhana bagi kita yang super sibuk menjalani hidup yaitu teknik meditasi 5 menit. Teknik ini sangat cocok bagi pemula.

Untuk menghadapi keraguan dalam bermeditasi, mari kita menyimak percakapan antara Arjuna dan Shri Krshna yang tercantum dalam Bhagavad gītā. Arjuna bertanya pada Śrī Kṛṣṇa, "Orang-orang yang dengan penuh keyakinan melakukan latihan yoga, tetapi belum mampu mengendalikan dirinya, belum mampu memusatkan pikirannya, belum mampu mencapai kesempurnaan hidup rohaninya, wahai Krshna, apakah yang bisa mereka capai? Apakah mereka tidak akan tersesat, sia-sia, sirna segala usahanya bagaikan awan disapu angin, tercerai berai, lenyap tanpa pegangan, menjadi bingung dalam jalan menuju Tuhan?"

Pertanyaan Arjuna di atas mungkin juga pertanyaan kita semua. Bertahun-tahun berlatih meditasi tanpa mampu berkonsentrasi, tidakkah ini sia-sia? Keputusasaan sering
berusaha menyelinap ke dalam benak dan mencoba menggiring untuk berhenti dan menganggap meditasi sebagai sesuatu yang sia-sia dan buang-buang waktu.

Menjawab pertanyaan Arjuna, Śrī Kṛṣṇa bersabda, "Wahai Arjuna, mereka tidaklah sia-sia dalam kehidupan saat ini ataupun nantinya. Setiap kegiatan yang dilandasi oleh niat-niat mulia yang tulus tak akan mengalami kegagalan. Dilandasi kegiatan-kegiatan mulia yang telah mereka lakukan dan setelah menikmati hasilnya di dunia sana, mereka akan terlahir kembali dalam keluarga-keluarga yang menjalani hidup suci. Ini adalah kesempatan yang sangat sulit dicapai. Mereka akan mengingat kembali sadhana mereka di kehidupan sebelumnya dan mereka akan melanjutkannya untuk mencapai kesempurnaan." Niat untuk menekuni jalan rohani merupakan tanda bahwa seseorang mengingat kembali jalan rohani yang pernah ditekuni dalam kehidupan sebelumnya.

Demikian percakapan Śrī Kṛṣṇa dan Arjuna mengenai hasil yang didapat oleh orang-orang yang tekun dalam melatih diri menempuh jalan hidup rohani. Walau tak sempurna, hasil baik akan tetap diperoleh. Tak perlu ada keraguan lagi karena setiap perbuatan yang dilandasi kasih bhakti pada Tuhan tak akan menemui kegagalan.

Meditasi adalah sebuah jalan rohani untuk meningkatkan kesadaran kita pada Sang Pencipta dan  harus dilakukan  dengan tekun, berkesinambungan, penuh keyakinan, dan sederhana. Meditasi bukanlah klenik yang mengarah pada hal-hal gaib seperti banyak diduga orang. Meditasi bukan pula sekedar refreshing pengisi waktu luang. (widyastana)

(Telah dimuat di harian Surabaya Post tanggal 06 November 2012)
0

Sekarang, Bukan Nanti

Ketika ajal menjemput dan berkata, “Sekarang!” kita tak akan pernah punya waktu untuk berkata, “Sebentar, saya belum siap. Saya belum berkemas-kemas. Belum mempersiapkan bekal untuk di perjalanan. Belum mempersiapkan baju terbaik untuk kehidupan baru!” Ya, tak ada perpanjangan waktu dan ketika saat itu betul-betul tiba penyesalan tiada lagi berguna.
Dari orang tua, kita tahu kapan, di mana, dan bagaimana kita lahir, tetapi dari siapa pun kita tak akan pernah tahu kapan kita “pulang”. Bahkan dokter yang dibantu alat-alat terbaru dan canggih pun hanya bisa membuat perkiraan. Oleh karenanya jangan pernah berkata, “Nanti!” untuk membuat persiapan “pulang” karena kita tak pernah tahu apakah kita masih punya “nanti”.
Jangan pernah berkata, “Saya belum siap!” Kesiapan berhubungan dengan kemauan dan kemauan berhubungan dengan kesadaran. Bangunlah kesadaran, dari mana kita datang, apa tujuan kelahiran kita, ke mana kita akan kembali, dan dalam keadaan apa kita ingin kembali. Kita memang tak perlu berpikir tentang: dengan cara bagaimana kita “pulang” karena cara bukan dalam kendali kita. Ungkapan, “Orangnya baik, kok matinya seperti itu?” menunjukkan bahwa “seperti itu” (cara kematian) berada di luar kendali kita, tetapi “orangnya baik” adalah pilihan yang bisa kita lakukan. Dalam hal ini, kita bisa membina diri kita untuk hidup sesuai ajaran-ajaran Agama yang tertuang dalam Weda dan berbagai cabangnya.
Bila kesadaran tentang tujuan kelahiran dan kemana kita akan kembali maka pasti dengan mudah kita akan memiliki kemauan dan kesiapan untuk membangun hidup di jalan rohani. Hidup di jalan rohani bukan berarti meninggalkan kehidupan duniawi, meninggalkan keluarga, pekerjaan, masyarakat, dan pergi ke hutan untuk bertapa. Kita bisa tetap hidup normal di dalam jalan rohani. Yang kita ubah hanya dasar dan tujuan dari kehidupan kita.
Hidup di jalan rohani berarti kita bangun pagi dalam kesadaran Paramatman. Yang kita ingat pertama saat terjaga dari tidur adalah Sang Hyang Parama Kawi, Tuhan Sang Maha Pencipta, sebagai bentuk syukur bahwa kita telah bangun dengan sehat di pagi hari ini. Selanjutnya kita warnai hidup kita secara rohani. Kalau dulu kita bekerja hanya demi mengejar kekayaan untuk kepuasan pribadi, kepuasan lidah, perut, keakuan, dan kelamin maka sekarang kita bekerja untuk mengejar kekayaan demi pelayanan pada Hyang Widhi secara langsung maupun melalui pelayanan pada sesama.
Hindu tidak melarang manusia menjadi kaya. Empat pilar yang disebut Catur Purushartha yang terdiri dari Dharma, Artha, Kama, dan Moksha justru mengajarkan kita memiliki artha (kekayaan) yang tentunya berlandaskan dharma (kebenaran utama/ajaran Weda). Kata “artha” dalam Purushartha bermakna penyebab, sedangkan kata “Purusha” bermakna kemuliaan.
Dalam jalan rohani hubungan keluarga tidak semata-mata hubungan duniawi. Hubungan suami-istri bukan semata-mata untuk kebahagiaan duniawi, melahirkan anak bukan semata-mata kepentingan duniawi, menghormati orang tua bukan formalitas cium tangan, dan sebagainya. Kewajiban suami istri dilakukan dalam kesadaran rohani seperti yang diajarkan dalam Manawa Dharma Shastra. Melahirkan anak adalah sebagai kewajiban menyiapkan generasi yang dharmika (mulia dan menjalankan ajaran Dharma). Menghormati orang tua adalah untuk menghargai pengorbanan mereka sehingga kita ada seperti sekarang ini. Setidaknya, yang telah memberi jalan kita lahir sebagai manusia.
Maharshi Canakya mengajarkan: ahara nidrabhaya maithunani samani caimani nrnam pashunam, jnanam naranamadhiko vishesho jnanena hinah pashubhih samanah (Canakya Niti Shastra, XVII, 17) yang artinya: Makan, tidur, kecemasan dan hubungan kelamin, semua itu adalah persamaan binatang dengan manusia. Kelebihan sifat manusia adalah pengetahuan. Orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan sama dengan binatang. Demikianlah maka kita menggunakan pengetahuan duniawi untuk mencukupi kebutuhan hidup kita di dunia dan menggunakan pengetahuan rohani sebagai dasar hidup duniawi dan sebagai sarana menghadapi “hidup masa depan”. Dengan demikian kita tidak sekedar menjadi “dvipada pashu” alias binatang berkaki dua.
Saat yang tepat untuk memiliki pengetahuan rohani dan  membina diri agar selalu hidup di jalan rohani sesuai ajaran Weda adalah sekarang, berapa pun usia kita saat ini. Tidak menunggu nanti, besok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Sastra suci mengajarkan “athato brahma-jijnasa”, sekaranglah saatnya mempelajari (pengetahuan tentang) Brahman (Tuhan).
Lalu, apa syarat untuk hidup di jalan rohani? Apakah harus jadi orang suci? Saya pernah berkata pada beberapa orang bahwa piring kotor itu jadi bersih setelah dicuci. Bukan karena bersih dia dicuci. Kalau sudah bersih untuk apa dicuci lagi? Contoh lain yang saya sampaikan ketika ada yang berkata belum siap menempuh hidup rohani adalah, “Punya SIM dulu baru belajar setir motor atau belajar dulu supaya bisa ujian dan dapat SIM?”. Kalau menunggu siap, kapan siapnya? Aneh kan, menunggu pintar dulu baru belajar. Mungkin kita masih ingat betapa semangatnya kita saat pertama masuk TK/SD padahal saat itu kita belum bisa membaca dan menulis. Setelah beberapa waktu bersekolah barulah kita mulai bisa membaca dan menulis. Demikian juga menempuh hidup di jalan rohani. Bukan menunggu suci dulu atau menjadi suci dengan tiba-tiba.
Kalau toh mungkin kita adalah orang paling berdosa, bukanlah halangan untuk memutuskan mulai hidup di jalan rohani. Ingatlah kisah Ratnakara, seorang penjahat besar,  yang kemudian menjadi Maharshi Walmiki dan mendapat karunia untuk menulis kitab Ramayana. Beliau dulunya adalah seorang penjahat besar. Pesan Shri Krshna dalam Bhagavad gita IX, 30 adalah, “Api cet suduracaro bhajate mam ananya bhak, sadhur eva samantavyah samyag vyavasito hi sah [Walau orang yang paling berdosa sekali pun datang kepada-Ku, memuja-Ku dengan penuh rasa bhakti tanpa menyimpang, maka orang seperti itu hendaknya diterima sebagai orang suci karena ia memiliki tekad yang mantap].” Narayana akan menerima siapa pun yang datang pada-Nya dengan keyakinan yang mantap dan penuh rasa bhakti yang tulus.
Tak perlu menunggu air mata berlinang untuk mendekatkan diri dan berserah diri pada Tuhan. Mari kita lakukan hari ini. Sekarang.
Sarve sukinah bhavantu (semoga semua makhluk berbahagia).
(widyastana)

(Telah dimuat di harian Surabaya Post tanggal 27 November 2012)

Pelajaran dari Tuhan

Tanpa kita sadari, setiap saat Tuhan memberi pelajaran berharga bagi kita dalam bentuk kebahagiaan dan penderitaan. Memang, jarang sekali kita bisa memahami bahwa kebahagiaan adalah juga merupakan bentuk pelajaran yang diberikan Tuhan pada kita. Kebahagiaan lebih banyak kita terima sebagai bentuk berkah. Demikian pula dengan penderitaan yang oleh sebagian orang dianggap sebagai bentuk hukuman dari Tuhan, bukan sebagai sebuah pelajaran.

Kebahagiaan yang datangnya karena orang lain adalah pelajaran agar kita bisa menghargai. Kebahagiaan yang diterima karena sebuah keberhasilan adalah pelajaran agar kita tunduk hati. Penderitaan karena ulah orang lain mengajarkan kita untuk ikhlas, tabah, dan memaafkan sedangkan penderitaan karena ulah kita sendiri mengajarkan kita untuk mawas diri dan belajar dari pengalaman.

Pelajaran yang diberikan Narayana, Tuhan Yang Maha Kuasa, dalam bentuk kebahagiaan dan penderitaan bertujuan membentuk kesadaran kita untuk selalu ingat bahwa segala sesuatu yang ada dan terjadi adalah karena hukum yang Beliau ciptakan. Bukan semata-mata karya kita. Tak ada sesuatu pun yang bisa terjadi tanpa mengikuti hukum abadi-Nya yang disebut Karma Phala. “Karma” berarti perbuatan dan “phala” berarti hasil. Segala sesuatu yang kita terima adalah hasil dari perbuatan kita, baik di masa kini atau pun di masa lalu. “Ala ulah ala tinemu, hayu kinardi hayu pinanggih”, buruk yang kita lakukan buruk pula yang kita jumpai, baik yang kita perbuat baik pula yang kita dapatkan. Demikianlah inti dari ajaran hukum Karma Phala.

Sebuah keberhasilan, yang mendatangkan kebahagiaan, bukanlah semata-mata karena usaha kita. Tak ada keberhasilan yang dilakukan seorang diri. Selalu ada orang lain yang mempengaruhi keberhasilan kita. Tak akan pernah kita jadi juara kelas tanpa bimbingan guru. Taka akan pernah kita meraih medali tanpa bimbingan pelatih. Sebuah keberhasilan tak akan pernah kita raih tanpa campur tangan Tuhan.

Pada pelajaran ini kita diharap mampu selalu membangun kesadaran bahwa ada kekuatan dari Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, melalui hukum abadi-Nya. Beliaulah yang  menyusun segalanya, sedemikian rupa sesuai dengan “karma” (perbuatan/usaha) kita, sehingga kita berhak memperoleh “phala” hasil dalam bentuk kebahagiaan.

Dengan kesadaran ini kita akan terbebas dari keangkuhan dan takabur. Kita juga akan selalu mengingat jasa-jasa orang lain yang telah membuat kita meraih keberhasilan. Bahkan kita juga bisa menghargai dan berterima kasih kepada para pengkritik kita yang membuat kita termotivasi untuk maju. Siddhayogi Acarya Śrī Kamal Kiśore Gosvami, Guru dari Guru rohani saya, mengajarkan, “Bila kau ingin mencari sahabat sejati carilah orang yang berani mengkritikmu, bukan orang yang suka memujimu. Kritik adalah gerbang kemajuan sedangkan pujian adalah gerbang kehancuran.”

Selain peajaran dalam bentuk kebahagiaan kita juga menerima pelajaran dalam bentuk penderitaan atau kedukaan. Sering kali kita merasa sakit atau menderita bukan karena disakiti oleh orang lain, tetapi karena kita sendiri yang menyakiti diri sendiri dengan rasa iri, amarah, kekecewaan, penyesalan, dan kebencian. Penderitaan muncul karena keterikatan dalam bentuk rasa memiliki dan harapan. Secara rohani, tak satu pun di alam ini milik kita. Kita sesungguhnya “memiliki” dalam tidak memiliki Jangankan yang ada di luar tubuh, atma/roh yang ada di dalam tubuh ini pun bukan milik kita. Harapan adalah pangkal kekecewaan. Harapan berujung pada kekecewaan dan amarah manakala harapan tak terpenuhi dengan sempurna. Kekecewaan dan amarah juga muncul ketika kita merasa kehilangan sesuatu yang kita “miliki”.

Dalam kedukaan kita belajar bahwa ada kekuatan lain yang lebih kuat yang mengatur hidup kita. Kita juga diharap belajar untuk membebaskan diri dari keterikatan karena keterikatan inilah sumber penderitaan, seperti sabda Śrī Kṛṣṇa, “Dhyāyato viṣayān puṁsaḥ saṅgas teṣūpajāyate, saṅgāt sañjāyate kāmaḥ kāmāt krodho’bhijāyate [Orang-orang yang selalu memusatkan pikirannya pada obyek-obyek indria, maka keterikatan pada obyek-oyek indria itu akan tumbuh. Dari keterikatan tersebut akan muncul hawa nafsu, (dan) dari hawa nafsu muncullah kemarahan] (Bhagavad gītā, II, 62).
Dalam hidup ini Tuhan selalu menyediakan dua "alat" tersebut, suka dan duka atau kebahagiaan dan penderitaan, agar kita belajar. Sejauh mana kita mau belajar maka sejauh itulah kita mendapatkan hasil dari setiap pelajaran dan sejauh itu pula kualitas hidup kita lebih maju.
Śrī Kṛṣṇa bersabda, “ye yathā māṁ prapadyante tāṁs tathaiva bhajāmy aham, mama vartmānuvartante manuṣyāḥ pārtha sarvaśaḥ [Wahai Arjuna, sejauh mana orang-orang menyerahkan dirinya kepada-Ku, sejauh itu pula Aku memberikan berkah kepada mereka semua. Memang, dalam segala hal umat manusia mengikuti jalan-Ku] (Bhagavad gītā, IV, 11). Jalan Tuhan adalah hukum abadi-Nya. Semua manusia, bahkan semua makhluk, mengikuti hukum abadi-Nya.

Semoga kita selalu diberi kekuatan untuk terus belajar dan pantang menyerah hingga tercapai hasil yang terbaik. Belajar selama hayat dikandung badan, selama kita punya kesempatan untuk hidup, sebelum Mahadewa, Tuhan, memanggil dan berkata, "Nak, saatnya untuk pulang!" (widyastana)

(Telah dimuat di harian Surabaya Post pada tanggal 20 November 2012)

"Mengkritisi Penonjolan Paham Siwa Sidhanta" oleh Made Kembar Kerepun

 Sebuah tulisan yang dikirimkan oleh swargya Bpk. I Made Kembar Kerepun Untuk membaca, silakan klik di sini  Mengkritisi Penonjolan Paham Si...