Kiamat

Dengan mengucapkan Oṁ Namo Bhagavate Vāsudevāya (sembah sujud hamba [namo] kepada Tuhan [Oṁ] Yang Maha Mulia [Bhagavan], Jiwa alam semesta [Vāsudevā]), saya menyampaikan rasa syukur karena masih diijinkan untuk bisa menjumpai para pembaca di tahun 2013 ini dan berbagi sedikit pengetahuan yang saya miliki. Mari kita tekadkan bahwa kesempatan yang masih kita miliki ini kita gunakan untuk menjadikan hidup lahir bathin kita lebih baik.

Satu hal yang saya syukuri juga setelah meninggalkan tahun 2012 adalah: ternyata dunia belum kiamat. Ya, tahun lalu dunia sempat “ribut” mengenai akan datangnya kiamat pada tanggal 12-12-2012 atau 21-12-2012. “Keributan” ini bersumber pada temuan kalender Suku Maya yang konon berakhir pada tahun 2012. Sebuah gambar kartun yang saya temui di sebuah web menggambarkan seorang Suku Maya berkata “Saya hanya punya tempat untuk menulis kalender hingga tahun 2012 saja!” Temannya yang diajak bicara menjawab, “Ha! Kelak hal itu akan membingungkan banyak orang!”.

Beberapa pendapat yang sempat saya baca mengatakan bahwa berakhirnya kalender Suku Maya di tahun 2012 bukan berarti berakhirnya dunia di tahun tersebut, tetapi setelah 2012 sistim perhitungan kalender Maya kembali ke awal. Bagi para pemerhati kalender Bali pasti mengenal istilah “Pangalantaka” yang pada periode tertentu akan “nemu gelang” alias kembali ke titik awal. Seperti halnya juga “Pawukon” yang berjumlah 30, diawali dari “Shinta” dan berakhir pada “Watugunung” yang kemudian kembali ke “Shinta” dan seterusnya. Demikian juga 7 hari yang sangat kita kenal yang selalu berulang.

Bagaimana pandangan Weda tentang hari kiamat atau yang disebut “Pralaya”? Kapan kiamat akan datang? “Pralaya” berarti hancur lebur. Dalam Bhagavad gita Adhyaya 8, shloka 18, penciptaan dan kehancuran alam semesta disebutkan sebagai avyaktad vyaktayah sarvah prabhavanty ahar-agame, ratry-agame praliyante tatraivavyakta-samjnake (Pada awal dari siang hari Brahma (Tuhan), semua makhluk hidup tercipta dari yang tak berwujud, dan pada awal dari malam hari Brahma, semua terlebur kembali menjadi yang tidak berwujud). Berapakah lamanya siang hari dan malam hari Brahma? Masing-masing lamanya adalah 1 Yuga.

Dalam ajaran Hindu kita mengenal istilah Mahayuga. Satu Mahayuga terdiri dari satu siklus Catur Yuga, yaitu Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Satya Yuga lamanya 1.728.000 tahun; Treta Yuga lamanya 1.296.000 tahun; Dwapara Yuga lamanya 864.000 tahun; dan Kali Yuga lamanya 432.000 tahun. Dengan demikian 1 Mahayuga lamanya 4.320.000 tahun.
Siklus Catur Yuga ini terus berulang, dari Satya Yuga hingga Kali Yuga dan kembali ke Satya Yuga. Satu siklus yang terdiri dari Catur Yuga disebut 1 Mahayuga. Setelah 71 Mahayuga disebut 1 Manwantara dan 14 Manwantara disebut 1 Kalpa. Setelah 1 Kalpa ini barulah alam semesta ini dihancurkan. Menurut Surya Siddhanta, Kali Yuga dimulai tengah malam, pukul 00.00, antara tanggal 17 dan 18 Februari 3102 SM. Dengan demikian hingga tanggal 18 Februari 2013 mendatang Kali Yuga telah berlangsung selama 5.115 tahun. Masih tersisa 426.885 tahun lagi. Entah di mana kita saat itu. Entah jadi apa kita saat itu. Dengan kata lain, tenang saja, kiamat masih jauh.

Sebaiknya kita tidak berkonsentrasi pada kiamat, tetapi mari kita manfaatkan kesempatan hidup sebagai manusia kali ini sebagai jalan mencapai pembebasan, suka tan pawali dhuka. Untuk terlahir dengan badan manusia ini sangatlah sulit. Dalam hidup-hidup lalu kita, telah banyak badan yang kita dapatkan dan dengan perjuangan keras, dengan ribuan kali kelahiran dan kematian, akhirnya kita berhasil mendapat badan manusia. Narayana (Tuhan Yang Maha Esa) telah memberi kesempatan yang mungkin hanya kita dapatkan sekali dalam sejuta kelahiran. Akankah kita sia-siakan dengan menjadi “dvipada pashu” alias binatang berkaki dua? Akankah kita sia-siakan dengan menjauhkan diri dari jalan Dharma demi pemuasan nafsu dan kenikmatan sesaat?

Sekaranglah saatnya kita harus memahami dari mana asal kita dan apa tujuan hidup kita sebagai manusia. Untuk mengetahui asal dan tujuan hidup maka kita perlu mempelajari ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Brahman yang dicatat oleh para Maharsi dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran Hyang Parama Kawi inilah yang akan menuntun kita mencapai tujuan hidup manusia ini. Ibarat buku manual yang kita dapat saat membeli tv atau kendaraan, bila kita benar mengikuti petunjuk dalam manual book itu pasti tv akan menyala baik atau kendaraan berfungsi dengan baik dan berusia panjang. Sebaliknya, kalau ngawur tanpa memperhatikan petunjuk maka sangat mungkin kita melakukan kesalahan dan tv atau kendaraan itu pun rusak.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, tujuan utama manusia dalam ajaran Hindu adalah Moksa dan disebut dengan “Moksartam Jagathita Ya Ca Iti Dahrma” (Dharma itu bertujuan untuk mencapai kesejahteraan hidup [jagat hita] dan pembebasan [moksa]). Pencapaian moksa merupakan bagian puncak dari Catur Purusa Artham (artham=kemakmuran) yang terdiri dari: Dharma (ajaran agama), Artha (harta), Kama (kebutuhan hidup), Moksa (pelepasan). Dharma menjadi fondasi dari Catur Purusa Artham untuk mencapai artha dan kama sehingga kita bisa mencapai moksa. Bila artha dan kama tidak dilandasi Dharma pastilah moksa jauh dari jangkauan.

Maharsi Canakya mengatakan: dharmartha kama moksesu yasyaiko'pi na vidyate, janma janmani martyesu maranam tasya kevalam (Dharma/kebenaran, Artha/kekayaan, Kama/kepuasan keinginan, dan Moksa/pembebasan, kalau satu pun dari keempat hal tersebut tidak bisa dicapai, kelahiran demi kelahiran di dunia material ini hanyalah untuk mati; Canakya Niti Sastra, 3, 20). Kemudian pada Adhyaya 6, 1 Canakya Niti Sastra disebutkan: srutva dharmam vijanati srutva tyajati durmatim, srutva jnanamavapnoti srutva moksamavapnuyat (Setelah membaca dan mendengar Veda orang bisa mengerti dharma, dengan mendengarkan Veda pikiran-pikiran buruk bisa dihilangkan, dengan mendengarkan Veda orang bisa betul-betul berpengetahuan, hanya dengan mendengarkan Veda orang bisa mendapatkan kebebasan).

Hari Sabtu tanggal 12 Januari 2013 kita akan merayakan Hari Saraswati sebagai bentuk rasa syukur kita atas karunia pengetahuan yang diajarkan Tuhan bagi umat manusia. Bagi yang hendak menekuni belajar Weda inilah saat yang baik untuk memantapkan diri, membulatkan tekad dan memohon berkah Beliau agar layak untuk menerima dan menjalankan ajaran-ajaran suci. Hari Saraswati juga merupakan saat yang baik untuk memohon agar kita ditunjukkan Guru yang utama yang bisa membimbing kita dalam memahami ajaran-ajaran Weda. Bagi yang telah menekuni ajaran Weda, hari suci ini merupakan saat “charging battery” tekad kita agar tetap mantap, tidak goyah oleh kerlap-kerlip pergaulan dan duniawi.

Dengan memahami ajaran Weda maka kita tak akan takut lagi menghadapi kiamat, baik kiamat alam maupun kiamat diri (kematian diri kita) karena Shri Krshna dalam Bhagavad gita telah mengajarkan: vasamsi jirnani yatha vihaya navani grhnati naro ’parani, tatha sharirani vihaya jirnany anyani samyati navani dehi (Sebagaimana halnya seseorang menanggalkan pakaian yang sudah usang dan mengenakan pakaian yang baru, seperti itu pula sang roh meninggalkan badan jasmani yang sudah tidak berguna dan memasuki badan jasmani yang baru. Bhagavad gita, 2,22)
Sarve sukinah bhavantu, semoga semua makhluk berbahagia.
(widyastana)

Acuh

Semoga tidak terlalu terlambat untuk mengucapkan Selamat Tahun Baru 2014 kepada segenap jajaran Surabaya Post dan seluruh pembaca. Semoga kita masih diijinkan untuk terus belajar berbenah diri, menemukan kebenaran sejati, serta menjauhkan diri dari segala yang salah dan tidak baik.
Saya sering membaca atau mendengar penggunaan kata “acuh” yang tidak tepat. Ya, banyak orang yang mengira (meyakini) bahwa kata “acuh” bermakna tidak peduli atau dalam bahasa gaulnya adalah “cuek”. Padahal, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “acuh” berarti mengindahkan atau peduli. “Mengacuhkan” berarti memedulikan, mengindahkan alias memperhatikan. Nah, ternyata maknanya berbeda 180 derajat dari yang banyak diyakini orang.
Tak perlu mencari siapa yang pertama kali “menghembuskan” kesalahan ini. Sia-sia dan membuang energi, karena kesalahan itu ternyata telah menjadi sebuah kesalahan umum. Yang penting untuk saat ini adalah bahwa kita sudah tahu makna kata “acuh” yang sebenarnya dan kita punya kesempatan untuk menyampaikan kebenaran itu pada orang lain yang masih belum mengetahui.
Sebagai manusia biasa, kita memang punya beberapa kekurangan. Dengan menyadari kekurangan-kekurangan yang kita miliki maka itu adalah langkah aman untuk menjalani hidup, baik kehidupan jasmani maupun rohani. Kita tidak akan menjadi orang yang sombong dan takabur. Ada empat jenis kekurangan yang kita miliki yaitu:
1.      Bhrama (bukan Brahma): yaitu kekurangan yang menyebabkan kita sering melakukan kesalahan, baik dalam pikiran, perkataan, maupun perbuatan;
2.      Pramada: kekuarang yang menyebabkan kita kurang perhatian, kurang fokus dan akhirnya terbawa oleh ilusi/khayalan/ imajinasi. Terhanyut oleh imajinasi, kita mengabaikan logika dan mengambil keputusan yang salah;
3.      Karanapatava: kekurangan dalam hal ketidak sempurnaan indria. Ketidak sempurnaan indria menyebabkan kita salah dalam memahami sesuatu. Hal ini juga bisa memunculkan kesalahpahaman;
4.      Vipralipsa: kekurangan yang menyebabkan kita menipu atau tertipu. Kita tidak hanya senang menipu demi kepentingan pribadi atau untuk cari selamat, tetapi kita juga senang ditipu dengan berbagai pencitraan.
Kekurangan-kekurangan ini mungkin tidak bisa dilenyapkan seluruhnya dari diri kita, tetapi kita bisa mengurangi pengaruhnya dalam hidup kita. Caranya adalah dengan melatih kesadaran bahwa kita memiliki kekurangan tersebuta dan harus waspada agar tak terjerumus dalam kesalahan yang lebih besar.
Carilah sumber kebenaran dari berbagai sumber, jangan hanya percaya dari satu sumber saja. Kalau ada yang mengatakan bahwa ada naga di sebuah desa, cobalah cari kebenarannya. Jangan-jangan hanya seekor belut. Kalau ada yang mengatakan sebuah kelompok rohani sebagai aliran sesat, cobalah dipelajari lebih jauh, siapa tahu yang mengatakan kelompok rohani itu aliran sesat adalah orang yang tidak suka belajar ilmu rohani dan tidak mau belajar mengendalikan diri.
Pada Rg Veda 1, 89, 1 ada ungkapan yang sangat kita kenal: a no bhadrah krtavo yantu vishvatah (semoga segala kemuliaan datang pada kami dari segala penjuru). Yang menjadi penting kemudian, setelah kebenaran itu datang, adalah hendaknya kita mampu menerima kebenaran yang datang dari segala penjuru tersebut. Setidaknya, menghormati. Jangan hanya mau menerima kebenaran yang kita yakini, tetapi tidak mau menerima atau menghormati kebenaran dari keyakinan orang lain. Dengan saling memahami dan menghargai maka hidup akan lebih damai.
Lakukanlah segalanya dengan didasari sumber-sumber sastra yang jelas, jangan melakukan hanya mengandalkan suka dan tidak suka atau dari membaca/mendengar pengetahuan yang sepotong-sepotong. Bhagavad gita 16, 24 mengajarkan : tasmac chastram pramanam te karyakarya-vyavasthitau, jnatva shastra-vidhanoktam karma kartum iharhasi (Oleh karena itu, engkau hendaknya mempergunakan kitab suci sebagai acuan dasar hukum dalam menentukan apa yang patut dilakukan dan apa yang tidak patut dilakukan, sesudah memahami hal itu dengan baik, maka lakukanlah tugas kewajibanmu sesuai dengan aturan-peraturan yang sudah ditetapkan di dalam kitab-kitab suci).
Bergurulah dan bertanyalah pada ahlinya. Kalau ingin belajar fisika, bergurulah pada ahli fisika. Kalau ingin belajar menjahit, bergurulah pada ahli jahit. Kalau ingin belajar ajaran spiritual, belajarlah pada yang sudah menjalani hidup spiritual. Jangan belajar atau berguru pada sumber yang salah. Kalau belajar pada guru yang salah, kita bukannya menjadi maju. Katha Upanishad 2, 5 mengajarkan: avidyayamantare vartamanah svayam dirah panditammanyamanah, dandramyamanah pariyanti mudha andhenaiva niyamana yathandhah (orang-orang yang tidak memiliki kecerdasan tetapi menganggap dirinya adalah orang bijaksana dan berpengetahuan tinggi akan membawa orang lain berjalan berputar-putar melalui jalan yang berliku, seperti orang buta menuntun orang buta). Orang yang tidak paham tetapi sok tahu sering kali menutupi ketidak tahuannya dengan argumen yang rumit dan berputar-putar. Kebenaran sangat mudah dijelaskan dengan kalimat sederhana, tetapi kebohongan perlu ribuan kata untuk menutupinya dan agar orang lain mau percaya.
Seperti halnya kata “acuh” yang sering disalah artikan, yang banyak dilakukan orang belum tentu kebenaran. Kebenaran sejati sering kali tersembunyi dalam kesunyian. Seperti orang mendulang emas atau intan dari lumpur, ketekunan kitalah yang akan membawa kita pada keberhasilan mendapatkan intan berlian spiritual. Kemalasan hanya akan membawa kita pada kepuasan mendapat serpihan-serpihan kaca.
Sarve sukhinah bhavantu.
Shantih.
07/01/2014

Disiplin Adalah Kecerdasan

Sepertinya disiplin masih menjadi barang langka di Indonesia. Di banyak tempat, khususnya di tempat-tempat umum, kita dengan mudah menjumpai ketidakdisiplinan. Sikap tidak disiplin justru seolah menjadi sesuatu yang wajar.

Bagi pembaca yang sering bepergian dengan pesawat terbang mungkin pernah melihat pramugari sampai harus mengingatkan penumpang yang masih berkomunikasi dengan telepon genggam padahal sudah ada pemberitahuan bahwa pesawat akan segera lepas landas dan semua alat yang menggunakan sinyal radio harus dimatikan. Peristiwa lain adalah, sejumlah penumpang sudah melepas sabuk pengamannya begitu roda pesawat baru menyentuh landasan. Petunjuk yang diberikan oleh awak pesawat adalah agar sabuk pengaman tetap dipakai sampai pesawat betul-betul berhenti dengan sempurna dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan. Demikian juga sudah ada penumpang yang mengaktifkan telepon genggamnya padahal awak kabin meminta penumpang pengaktifkan telepon genggam setelah tiba di ruang kedatangan.

Saya sempat berpikir, apakah para penumpang ini malu kalau menuruti petunjuk awak kabin dan petunjuk-petunjuk tentang keselamatan penerbangan? Malu kalau dikira baru pertama kali naik pesawat terbang? Berbicara tentang pertama kali, siapa yang tidak pernah mengalami pertama kali dalam segala hal? Kalau toh kita pertama kali naik pesawat terbang, apa salahnya? Mengapa harus malu? Mengapa pula harus malu untuk bersikap disiplin, terutama yang berhubungan dengan keselamatan?

Di jalan raya juga kita jumpai ketidak disiplinan, apalagi kalau tidak ada petugas polisi yang jaga. Ketika lampu merah sudah menyala dua detik masih saja ada yang menerobos. Di sisi lain, ada pengendara yang sudah menjalankan kendaraannya saat baru lampu kuning yang menyala. Dalam kondisi seperti ini kecelakaan sangat mungkin terjadi.

Belum lagi masalah sampah yang berserakan di mana-mana. Kita agak malas mencari tong sampah dan belum terbiasa mengantongi sampah. Saat bekerja di sebuah pabrik tekstil di Karawang, Jawa Barat, saya sangat sering melihat tenaga asing yang mengambil bungkus permen, bungkus rokok, bahkan puntung rokok yang ditemukan di area kerja dan memasukkannya ke dalam saku baju untuk kemudian dibuang begitu menemukan tong sampah. Kalau mereka sendiri yang memakan permen atau makanan kecil di tempat yang tidak ada tong sampah, mereka akan mengantongi bungkus permen/makanan tersebut dan membuangnya di tong sampah yang mereka temukan kemudian.
Saat menyaksikan balap Moto GP di Philip Island, Australia, saya melihat pria-pria berbadan kekar dan penuh tato begitu disiplin membuang sampah. Kaleng minuman yang telah kosong mereka injak terlebih dahulu sampai gepeng sebelum dimasukkan ke tong sampah khusus untuk kaleng. Tidak asal buang. Kaleng gepeng lebih hemat tempat dari pada yang masih berbentuk silinder. Mereka juga tertib merokok di tempat khusus untuk merokok serta membuang puntung rokok di tempat yang telah disediakan.

Kita sangat suka meniru gaya hidup orang barat demi dianggap modern, up to date, gaul, tetapi mengapa hanya pada cara berpakaian, model rambut, atau gaya makan? Yang kita tiru itupun hanya yang kita lihat melalui film yang dalam kehidupan nyata mereka belum tentu demikian. Mengapa kita tidak meniru sikap disiplin mereka?

Dengan disiplin, hidup akan lebih tertib, lingkungan menjadi lebih bersih dan sehat, hidup jadi lebih nyaman dan aman. Bersabarlah di jalan dan ikuti aturan lalu lintas demi keselamatan bersama. Memakai kendaraan sport di jalan raya bukan berarti boleh bersikap seperti pembalap karena jalan raya bukanlah sirkuit balap. Setelah ngemil di mobil jangan buang sampah ke luar jendela, bisa-bisa kena muka pengendara sepeda motor di belakang mobil kita. Demikian juga kalau mau meludah, hentikan mobil baru meludah. Sediakan asbak di mobil agar tak perlu membuang abu dan puntung rokok ke luar jendela. Sampah, bekas botol atau kaleng minuman yang dibuang sembarangan, dapat mencelaki orang lain.

Tak ada ruginya tetap memakai sabuk pengaman sampai pesawat benar-benar berhenti dengan sempurna. Kabarkan waktu boarding kita saat masih berada di ruang tunggu. Bisa juga dilakukan sambil antri di pintu ke luar dan matikan telepon genggam sebelum masuk pesawat. Demikian juga nyalakan telepon genggam setidaknya setelah berada di luar pesawat (kalau tidak sabar menunggu hingga sampai di terminal kedatangan).

Sikap disiplin bukan sesuatu yang memalukan. Bukan keterbelakangan. Justru sikap disiplin adalah sikap orang modern, sikap orang yang cerdas. Cerdas untuk memahami akibat buruk dari tindakan tidak disiplin.

Kedisiplinan memang harus ditanamkan sejak dini dan penanaman yang paling tepat adalah dengan menjadi contoh bagi anak-anak kita. Kitalah yang harus disiplin terlebih dahulu baru kita tularkan kedisiplinan itu pada anak-anak. Kita tidak bisa mengubah dunia, tetapi kita bisa mengubah dan membentuk diri kita sendiri. Kita tak perlu memaksa orang lain untuk disiplin, namun mulailah disiplin dari diri sendiri dan jadilah teladan bagi orang-orang terdekat di sekitar kita.

Sarwe sukhinah bhawantu, semoga semua makhluk berbahagia.
(widyastana)
(Telah dimuat di harian Surabaya Post tanggal 16 Juli 2013)

Seimbang dalam Kegagalan dan Keberhasilan

Tak seorang pun ingin gagal dalam mencapai harapannya, namun kadang kegagalan bisa dengan tiba-tiba menghadang di depan kita, bahkan ketika kita merasa sudah di “ujung jalan”, tinggal “selangkah” lagi untuk meraih sukses. Sebagian orang menerima kegagalannya dengan rasa kecewa dan penyesalan yang mendalam, sebagian yang lain menghadapinya dengan sikap hati yang tegar dan damai. Sebagian menganggap kegagalan adalah akhir hidupnya, sebagian lagi menerima kegagalan sebagai sebuah kesempatan untuk menjadi lebih baik.
Bhagawad gita adhyaya 2, shloka 38 mengajarkan,” sukha-duḥkhe same kṛtvā lābhālābhau jayājayau, tato yuddhāya yujyasva naivaṁ pāpam avāpsyasi” (Terimalah dengan cara yang sama antara suka dan duka, untung dan rugi, menang ataupun kalah. Setelah itu, sibukkanlah dirimu di dalam peperangan. Dengan demikian engkau tidak akan pernah dipengaruhi oleh dosa). Secara umum, peperangan berarti perjuangan dalam mencapai cita-cita. Perjuangan untuk berhasil dalam setiap usaha.
Menerima kegagalan dan kemenangan, keuntungan dan kerugian, suka dan duka, dengan cara yang sama, cara tenang dan damai, akan melepaskan diri kita dari stress. Mungkinkah kita bisa menjaga perasaan kita sama antara kalah dan menang, untung dan rugi, suka dan duka? Memang pasti ada bedanya perasaan ini saat menerima kemenangan dan ketika mengalami kekalahan. Diperlukan sebuah usaha untuk menjadikan pikiran dan jiwa kita seimbang ketika menerima salah satu dari keduanya. Tidak bersorak kegirangan saat suka dan tidak tunduk terpuruk saat duka. Meditasi bisa membantu proses keseimbangan bathin ini.
Sebagai umat yang percaya pada Tuhan, kita percaya bahwa kuasa Tuhan sangat berperan dalam hidup kita. Kita akan menerima atau kehilangan sesuatu dalam hidup ini sesuai dengan hitung-hitungan yang sempurna oleh Tuhan terhadap karma phala (hasil perbuatan) kita. Baik “sañcita karma phala” (perbuatan dahulu yang kita nikmati hasilnya sekarang). “prārabdha karma phala” (perbuatan sekarang yang kita nikmati hasilnya sekarang), maupun “kriyamāṇa karma phala” (perbuatan sekarang yang hasilnya kita terima kelak).
Ketakutan menjadi gagal sering menjadi pintu penghalang di awal langkah kita. Apa yang bisa kita dapatkan kalau untuk melangkah pun kita takut. Orang sukses bukanlah orang yang tak pernah gagal, tetapi orang yang selalu bisa bangkit dari kegagalannya dengan semangat yang lebih tinggi dan tekad yang lebih kuat untuk tetap melangkah hingga berhasil meraih yang dicita-citakan.
Kepada Arjuna, Shri Krshna bersabda, “karmaṇy evādhikāras te mā phaleṣu kadācana, mā karma-phala-hetur bhūr mā te saṅgo'stv akarmaṇi” (hakmu hanyalah pada pelaksanaan tugas kewajiban, dan sama sekali tidak pada pahala dari tugas kewajiban yang engkau lakukan. Jangan beranggapan engkau menjadi penyebab dari hasil perbuatan, dan jangan menjadi terikat untuk tidak melakukan tugas kewajibanmu. Bhagawad gita, 2, 47). Kata “adhikāra” berarti menguasai atau mengendalikan. Kita mampu sepenuhnya mengendalikan pekerjaan kita, tetapi kita tak sepenuhnya mampu mengendalikan hasil dari yang kita kerjakan. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil usaha kita. Oleh karena itu, kita dianjurkan hanya fokus pada pekerjaan kita tanpa berkhayal pada hasilnya. Walaupun tidak sepenuhnya bisa mengendalikan hasil dari pekerjaan, kita tetap harus bekerja sesuai kewajiban dan tanggung jawab yang telah diberikan. Berdiam diri tak akan menghasilkan apapun. Ada sebuah kalimat bijak yang mengatakan: Bila kau takut gagal, jangan melakukan apa pun. Tetapi, dengan tidak melakukan apa pun maka itu adalah kegagalan terbesar dalam hidupmu.
Bila kita telah melaksanakan tugas kewajiban kita dengan sungguh-sungguh dan selalu ada di jalan Dharma maka apa pun hasilnya itulah yang terbaik. Tuhan tidak akan menimpakan dosa pada kita. Seorang prajurit yang membela tanah air akan dibebaskan dari dosa karena membunuh musuh. Sebagai orang tua yang telah memberikan pendidikan lahir batin pada anak akan dibebaskan dari dosa bila akhirnya si anak tak menurut nasihat orang tuanya dan kemudian gagal dalam hidupnya. Seorang guru yang telah menjalankan tugasnya dengan baik tidak akan disalahkan kalau ada siswanya yang gagal dalam pendidikan karena hal ini pasti bukan kesalahan guru.
duḥkheṣv anudvigna-manāḥ sukheṣu vigata-spṛhaḥ, vīta-rāga-bhaya-krodhaḥ sthita-dhīr munir ucyate (Orang yang pikirannya tidak tergoyahkan di dalam duka, tidak riang berlebihan di dalam keadaan suka, bebas dari ikatan, kecemasan dan kemarahan, dia disebut sebagai seorang “muni” yang memiliki kesadaran yang mantap). Kembali kita diingatkan untuk bersikap seimbang dalam suka dan duka. Jangan gundah dikala duka, jangan berlebihan ketika bahagia. Kata “muni” berarti orang yang sudah mantap dalam kehidupan rohani. Orang yang sudah seimbang dalam suka dan duka serta bebas dari keterikatan, kecemasan, dan kemarahan layak disebut sebagai seorang “muni”, seorang spiritualis.
Kepada para siswa yang baru saja menyelesaikan Ujian Nasional, terimalah apa pun hasilnya dengan damai. Percayalah, kepada umat-Nya yang selalu berbhakti, Tuhan selalu memberi yang terbaik. Hanya karena keterbatasan kitalah maka kita sering tidak bisa memahami kehendak-Nya hingga pada suatu saat nanti kita akan menyadari mengapa hari ini kita menerima situasi seperti ini.
Selamat berkarya. Semoga semua makhluk berbahagia. (widyastana)
(Telah dimuat di harian Surabaya Post tanggal 14 Mei 2013)


Meditasi Bukan Sekedar Gaya Hidup

Meditasi semakin dikenal dan diminati oleh banyak orang tanpa memandang latar belakang ras, suku, agama, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman indah dari orang-orang yang telah mempraktikan meditasi menjadi hal yang menarik sehingga menumbuhkan keinginan semakin banyak orang untuk mencoba laku meditasi.

Walau meditasi telah dikenal luas, tetapi belum banyak yang menyadari bahwa meditasi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Bila mau dicermati, meditasi adalah 3 bagian akhir dari Añöāìga Yoga atau Delapan (aṣṭa) Tahapan (aṅga) untuk mendekatkan diri pada Tuhan (yoga berasal dari kata yuj yang berarti mendekat atau bergabung) yang terdiri dari:
1.      Yama (pengendalian pikiran): satya (kebenaran), asteya (tidak menginginkan milik orang lain), aparigraha (tidak serakah), brahmacarya (pengendalian nafsu seksual), dan ahiṁsā (tanpa kekerasan, baik fisik maupun non fisik);
2.      Niyama (pengendalian diri): śauca (menjaga kebersihan lahir batin), santoña (selalu berpuas hati dalam segala keadaan), tapa (pengendalian diri dalam berpikir, berkata, dan bertingkah laku), svādhyāya (tekun belajar dan melaksanakan ajaran-ajaran suci dan petunjuk guru), dan īśvarapraṇidhana (tekun memuja Tuhan Yang Maha Esa);
3.      Prāṇāyāma : Teknik memahami dan menyadari masuk dan keluarnya nafas. Prāṇa” berarti “nafas hidup” dan “āyāma” berarti raja;
4.      Āsana : sikap-sikap tubuh yang dipadukan dengan pengaturan nafas yang membawa kepada kesehatan lahir dan bathin. Misalnya: padmāsana, sarvāṅgāsanaśīrṣāsana, dan lain-lain. Surya Namaskara merupakan rangkaian gerakan āsana. Gerakan-gerakan āsana ini yang sering secara sempit diartikan sebagai yoga;
5.      Prātyāhāra : pengendalian indria-indria.
6.      Dharaṇa : memusatkan pikiran pada sebuah obyek meditasi yang bersifat spiritual;
7.      Dhyāna : yaitu tahap menyadari obyek itu sebagai bagian dari diri kita, ada di dalam diri kita;
8.      Samādhi : merupakan tahap ketika kita sampai pada kesadaran bahwa obyek dan kita adalah satu, tak terpisahkan.

Secara ideal delapan tahapan ini seharusnya dijalankan dengan baik. Sayangnya, dalam dunia yang semakin instant ini, kebanyakan orang ingin langsung masuk ke tahapan meditasi tanpa menyempurnakan diri di tahapan sebelumnya. Para Guru rohanipun melakukan teknik menyusupkan ajaran-ajaran Aṣṭāṅga Yoga kepada murid-muridnya secara perlahan sambil membimbing mereka belajar meditasi sesuai keinginan sang murid.

Dari mereka yang tertarik untuk menekuni meditasi ada yang langsung berani mencoba, tetapi ada juga yang masih ragu. Keraguan terbesar adalah masalah konsentrasi. Orang-orang yang sudah menekuni meditasi pun sering bertanya-tanya, “Mengapa saya belum bisa memusatkan pikiran dengan baik?” atau “Sudah sampai di mana kemajuan saya?” atau “Apa yang sudah saya dapatkan dari meditasi yang dilakukan selama sekian waktu ini?”

Pikiran ini memang liar. Dikatakan bahwa pikiran itu lebih cepat dari angin. Bahkan mungkin lebih cepat dari cahaya. Meditasi dalam tahap "dharana" adalah tahap untuk belajar mengendalikan pikiran yang liar tersebut. Diperlukan ketekunan dan kesungguhan untuk berlatih setiap waktu. Salah satu teknik meditasi yang penulis tekuni, yaitu Meditasi Angka, menyediakan sebuah teknik yang sangat sederhana bagi kita yang super sibuk menjalani hidup yaitu teknik meditasi 5 menit. Teknik ini sangat cocok bagi pemula.

Untuk menghadapi keraguan dalam bermeditasi, mari kita menyimak percakapan antara Arjuna dan Shri Krshna yang tercantum dalam Bhagavad gītā. Arjuna bertanya pada Śrī Kṛṣṇa, "Orang-orang yang dengan penuh keyakinan melakukan latihan yoga, tetapi belum mampu mengendalikan dirinya, belum mampu memusatkan pikirannya, belum mampu mencapai kesempurnaan hidup rohaninya, wahai Krshna, apakah yang bisa mereka capai? Apakah mereka tidak akan tersesat, sia-sia, sirna segala usahanya bagaikan awan disapu angin, tercerai berai, lenyap tanpa pegangan, menjadi bingung dalam jalan menuju Tuhan?"

Pertanyaan Arjuna di atas mungkin juga pertanyaan kita semua. Bertahun-tahun berlatih meditasi tanpa mampu berkonsentrasi, tidakkah ini sia-sia? Keputusasaan sering
berusaha menyelinap ke dalam benak dan mencoba menggiring untuk berhenti dan menganggap meditasi sebagai sesuatu yang sia-sia dan buang-buang waktu.

Menjawab pertanyaan Arjuna, Śrī Kṛṣṇa bersabda, "Wahai Arjuna, mereka tidaklah sia-sia dalam kehidupan saat ini ataupun nantinya. Setiap kegiatan yang dilandasi oleh niat-niat mulia yang tulus tak akan mengalami kegagalan. Dilandasi kegiatan-kegiatan mulia yang telah mereka lakukan dan setelah menikmati hasilnya di dunia sana, mereka akan terlahir kembali dalam keluarga-keluarga yang menjalani hidup suci. Ini adalah kesempatan yang sangat sulit dicapai. Mereka akan mengingat kembali sadhana mereka di kehidupan sebelumnya dan mereka akan melanjutkannya untuk mencapai kesempurnaan." Niat untuk menekuni jalan rohani merupakan tanda bahwa seseorang mengingat kembali jalan rohani yang pernah ditekuni dalam kehidupan sebelumnya.

Demikian percakapan Śrī Kṛṣṇa dan Arjuna mengenai hasil yang didapat oleh orang-orang yang tekun dalam melatih diri menempuh jalan hidup rohani. Walau tak sempurna, hasil baik akan tetap diperoleh. Tak perlu ada keraguan lagi karena setiap perbuatan yang dilandasi kasih bhakti pada Tuhan tak akan menemui kegagalan.

Meditasi adalah sebuah jalan rohani untuk meningkatkan kesadaran kita pada Sang Pencipta dan  harus dilakukan  dengan tekun, berkesinambungan, penuh keyakinan, dan sederhana. Meditasi bukanlah klenik yang mengarah pada hal-hal gaib seperti banyak diduga orang. Meditasi bukan pula sekedar refreshing pengisi waktu luang. (widyastana)

(Telah dimuat di harian Surabaya Post tanggal 06 November 2012)
0

Sekarang, Bukan Nanti

Ketika ajal menjemput dan berkata, “Sekarang!” kita tak akan pernah punya waktu untuk berkata, “Sebentar, saya belum siap. Saya belum berkemas-kemas. Belum mempersiapkan bekal untuk di perjalanan. Belum mempersiapkan baju terbaik untuk kehidupan baru!” Ya, tak ada perpanjangan waktu dan ketika saat itu betul-betul tiba penyesalan tiada lagi berguna.
Dari orang tua, kita tahu kapan, di mana, dan bagaimana kita lahir, tetapi dari siapa pun kita tak akan pernah tahu kapan kita “pulang”. Bahkan dokter yang dibantu alat-alat terbaru dan canggih pun hanya bisa membuat perkiraan. Oleh karenanya jangan pernah berkata, “Nanti!” untuk membuat persiapan “pulang” karena kita tak pernah tahu apakah kita masih punya “nanti”.
Jangan pernah berkata, “Saya belum siap!” Kesiapan berhubungan dengan kemauan dan kemauan berhubungan dengan kesadaran. Bangunlah kesadaran, dari mana kita datang, apa tujuan kelahiran kita, ke mana kita akan kembali, dan dalam keadaan apa kita ingin kembali. Kita memang tak perlu berpikir tentang: dengan cara bagaimana kita “pulang” karena cara bukan dalam kendali kita. Ungkapan, “Orangnya baik, kok matinya seperti itu?” menunjukkan bahwa “seperti itu” (cara kematian) berada di luar kendali kita, tetapi “orangnya baik” adalah pilihan yang bisa kita lakukan. Dalam hal ini, kita bisa membina diri kita untuk hidup sesuai ajaran-ajaran Agama yang tertuang dalam Weda dan berbagai cabangnya.
Bila kesadaran tentang tujuan kelahiran dan kemana kita akan kembali maka pasti dengan mudah kita akan memiliki kemauan dan kesiapan untuk membangun hidup di jalan rohani. Hidup di jalan rohani bukan berarti meninggalkan kehidupan duniawi, meninggalkan keluarga, pekerjaan, masyarakat, dan pergi ke hutan untuk bertapa. Kita bisa tetap hidup normal di dalam jalan rohani. Yang kita ubah hanya dasar dan tujuan dari kehidupan kita.
Hidup di jalan rohani berarti kita bangun pagi dalam kesadaran Paramatman. Yang kita ingat pertama saat terjaga dari tidur adalah Sang Hyang Parama Kawi, Tuhan Sang Maha Pencipta, sebagai bentuk syukur bahwa kita telah bangun dengan sehat di pagi hari ini. Selanjutnya kita warnai hidup kita secara rohani. Kalau dulu kita bekerja hanya demi mengejar kekayaan untuk kepuasan pribadi, kepuasan lidah, perut, keakuan, dan kelamin maka sekarang kita bekerja untuk mengejar kekayaan demi pelayanan pada Hyang Widhi secara langsung maupun melalui pelayanan pada sesama.
Hindu tidak melarang manusia menjadi kaya. Empat pilar yang disebut Catur Purushartha yang terdiri dari Dharma, Artha, Kama, dan Moksha justru mengajarkan kita memiliki artha (kekayaan) yang tentunya berlandaskan dharma (kebenaran utama/ajaran Weda). Kata “artha” dalam Purushartha bermakna penyebab, sedangkan kata “Purusha” bermakna kemuliaan.
Dalam jalan rohani hubungan keluarga tidak semata-mata hubungan duniawi. Hubungan suami-istri bukan semata-mata untuk kebahagiaan duniawi, melahirkan anak bukan semata-mata kepentingan duniawi, menghormati orang tua bukan formalitas cium tangan, dan sebagainya. Kewajiban suami istri dilakukan dalam kesadaran rohani seperti yang diajarkan dalam Manawa Dharma Shastra. Melahirkan anak adalah sebagai kewajiban menyiapkan generasi yang dharmika (mulia dan menjalankan ajaran Dharma). Menghormati orang tua adalah untuk menghargai pengorbanan mereka sehingga kita ada seperti sekarang ini. Setidaknya, yang telah memberi jalan kita lahir sebagai manusia.
Maharshi Canakya mengajarkan: ahara nidrabhaya maithunani samani caimani nrnam pashunam, jnanam naranamadhiko vishesho jnanena hinah pashubhih samanah (Canakya Niti Shastra, XVII, 17) yang artinya: Makan, tidur, kecemasan dan hubungan kelamin, semua itu adalah persamaan binatang dengan manusia. Kelebihan sifat manusia adalah pengetahuan. Orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan sama dengan binatang. Demikianlah maka kita menggunakan pengetahuan duniawi untuk mencukupi kebutuhan hidup kita di dunia dan menggunakan pengetahuan rohani sebagai dasar hidup duniawi dan sebagai sarana menghadapi “hidup masa depan”. Dengan demikian kita tidak sekedar menjadi “dvipada pashu” alias binatang berkaki dua.
Saat yang tepat untuk memiliki pengetahuan rohani dan  membina diri agar selalu hidup di jalan rohani sesuai ajaran Weda adalah sekarang, berapa pun usia kita saat ini. Tidak menunggu nanti, besok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Sastra suci mengajarkan “athato brahma-jijnasa”, sekaranglah saatnya mempelajari (pengetahuan tentang) Brahman (Tuhan).
Lalu, apa syarat untuk hidup di jalan rohani? Apakah harus jadi orang suci? Saya pernah berkata pada beberapa orang bahwa piring kotor itu jadi bersih setelah dicuci. Bukan karena bersih dia dicuci. Kalau sudah bersih untuk apa dicuci lagi? Contoh lain yang saya sampaikan ketika ada yang berkata belum siap menempuh hidup rohani adalah, “Punya SIM dulu baru belajar setir motor atau belajar dulu supaya bisa ujian dan dapat SIM?”. Kalau menunggu siap, kapan siapnya? Aneh kan, menunggu pintar dulu baru belajar. Mungkin kita masih ingat betapa semangatnya kita saat pertama masuk TK/SD padahal saat itu kita belum bisa membaca dan menulis. Setelah beberapa waktu bersekolah barulah kita mulai bisa membaca dan menulis. Demikian juga menempuh hidup di jalan rohani. Bukan menunggu suci dulu atau menjadi suci dengan tiba-tiba.
Kalau toh mungkin kita adalah orang paling berdosa, bukanlah halangan untuk memutuskan mulai hidup di jalan rohani. Ingatlah kisah Ratnakara, seorang penjahat besar,  yang kemudian menjadi Maharshi Walmiki dan mendapat karunia untuk menulis kitab Ramayana. Beliau dulunya adalah seorang penjahat besar. Pesan Shri Krshna dalam Bhagavad gita IX, 30 adalah, “Api cet suduracaro bhajate mam ananya bhak, sadhur eva samantavyah samyag vyavasito hi sah [Walau orang yang paling berdosa sekali pun datang kepada-Ku, memuja-Ku dengan penuh rasa bhakti tanpa menyimpang, maka orang seperti itu hendaknya diterima sebagai orang suci karena ia memiliki tekad yang mantap].” Narayana akan menerima siapa pun yang datang pada-Nya dengan keyakinan yang mantap dan penuh rasa bhakti yang tulus.
Tak perlu menunggu air mata berlinang untuk mendekatkan diri dan berserah diri pada Tuhan. Mari kita lakukan hari ini. Sekarang.
Sarve sukinah bhavantu (semoga semua makhluk berbahagia).
(widyastana)

(Telah dimuat di harian Surabaya Post tanggal 27 November 2012)

Pelajaran dari Tuhan

Tanpa kita sadari, setiap saat Tuhan memberi pelajaran berharga bagi kita dalam bentuk kebahagiaan dan penderitaan. Memang, jarang sekali kita bisa memahami bahwa kebahagiaan adalah juga merupakan bentuk pelajaran yang diberikan Tuhan pada kita. Kebahagiaan lebih banyak kita terima sebagai bentuk berkah. Demikian pula dengan penderitaan yang oleh sebagian orang dianggap sebagai bentuk hukuman dari Tuhan, bukan sebagai sebuah pelajaran.

Kebahagiaan yang datangnya karena orang lain adalah pelajaran agar kita bisa menghargai. Kebahagiaan yang diterima karena sebuah keberhasilan adalah pelajaran agar kita tunduk hati. Penderitaan karena ulah orang lain mengajarkan kita untuk ikhlas, tabah, dan memaafkan sedangkan penderitaan karena ulah kita sendiri mengajarkan kita untuk mawas diri dan belajar dari pengalaman.

Pelajaran yang diberikan Narayana, Tuhan Yang Maha Kuasa, dalam bentuk kebahagiaan dan penderitaan bertujuan membentuk kesadaran kita untuk selalu ingat bahwa segala sesuatu yang ada dan terjadi adalah karena hukum yang Beliau ciptakan. Bukan semata-mata karya kita. Tak ada sesuatu pun yang bisa terjadi tanpa mengikuti hukum abadi-Nya yang disebut Karma Phala. “Karma” berarti perbuatan dan “phala” berarti hasil. Segala sesuatu yang kita terima adalah hasil dari perbuatan kita, baik di masa kini atau pun di masa lalu. “Ala ulah ala tinemu, hayu kinardi hayu pinanggih”, buruk yang kita lakukan buruk pula yang kita jumpai, baik yang kita perbuat baik pula yang kita dapatkan. Demikianlah inti dari ajaran hukum Karma Phala.

Sebuah keberhasilan, yang mendatangkan kebahagiaan, bukanlah semata-mata karena usaha kita. Tak ada keberhasilan yang dilakukan seorang diri. Selalu ada orang lain yang mempengaruhi keberhasilan kita. Tak akan pernah kita jadi juara kelas tanpa bimbingan guru. Taka akan pernah kita meraih medali tanpa bimbingan pelatih. Sebuah keberhasilan tak akan pernah kita raih tanpa campur tangan Tuhan.

Pada pelajaran ini kita diharap mampu selalu membangun kesadaran bahwa ada kekuatan dari Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, melalui hukum abadi-Nya. Beliaulah yang  menyusun segalanya, sedemikian rupa sesuai dengan “karma” (perbuatan/usaha) kita, sehingga kita berhak memperoleh “phala” hasil dalam bentuk kebahagiaan.

Dengan kesadaran ini kita akan terbebas dari keangkuhan dan takabur. Kita juga akan selalu mengingat jasa-jasa orang lain yang telah membuat kita meraih keberhasilan. Bahkan kita juga bisa menghargai dan berterima kasih kepada para pengkritik kita yang membuat kita termotivasi untuk maju. Siddhayogi Acarya Śrī Kamal Kiśore Gosvami, Guru dari Guru rohani saya, mengajarkan, “Bila kau ingin mencari sahabat sejati carilah orang yang berani mengkritikmu, bukan orang yang suka memujimu. Kritik adalah gerbang kemajuan sedangkan pujian adalah gerbang kehancuran.”

Selain peajaran dalam bentuk kebahagiaan kita juga menerima pelajaran dalam bentuk penderitaan atau kedukaan. Sering kali kita merasa sakit atau menderita bukan karena disakiti oleh orang lain, tetapi karena kita sendiri yang menyakiti diri sendiri dengan rasa iri, amarah, kekecewaan, penyesalan, dan kebencian. Penderitaan muncul karena keterikatan dalam bentuk rasa memiliki dan harapan. Secara rohani, tak satu pun di alam ini milik kita. Kita sesungguhnya “memiliki” dalam tidak memiliki Jangankan yang ada di luar tubuh, atma/roh yang ada di dalam tubuh ini pun bukan milik kita. Harapan adalah pangkal kekecewaan. Harapan berujung pada kekecewaan dan amarah manakala harapan tak terpenuhi dengan sempurna. Kekecewaan dan amarah juga muncul ketika kita merasa kehilangan sesuatu yang kita “miliki”.

Dalam kedukaan kita belajar bahwa ada kekuatan lain yang lebih kuat yang mengatur hidup kita. Kita juga diharap belajar untuk membebaskan diri dari keterikatan karena keterikatan inilah sumber penderitaan, seperti sabda Śrī Kṛṣṇa, “Dhyāyato viṣayān puṁsaḥ saṅgas teṣūpajāyate, saṅgāt sañjāyate kāmaḥ kāmāt krodho’bhijāyate [Orang-orang yang selalu memusatkan pikirannya pada obyek-obyek indria, maka keterikatan pada obyek-oyek indria itu akan tumbuh. Dari keterikatan tersebut akan muncul hawa nafsu, (dan) dari hawa nafsu muncullah kemarahan] (Bhagavad gītā, II, 62).
Dalam hidup ini Tuhan selalu menyediakan dua "alat" tersebut, suka dan duka atau kebahagiaan dan penderitaan, agar kita belajar. Sejauh mana kita mau belajar maka sejauh itulah kita mendapatkan hasil dari setiap pelajaran dan sejauh itu pula kualitas hidup kita lebih maju.
Śrī Kṛṣṇa bersabda, “ye yathā māṁ prapadyante tāṁs tathaiva bhajāmy aham, mama vartmānuvartante manuṣyāḥ pārtha sarvaśaḥ [Wahai Arjuna, sejauh mana orang-orang menyerahkan dirinya kepada-Ku, sejauh itu pula Aku memberikan berkah kepada mereka semua. Memang, dalam segala hal umat manusia mengikuti jalan-Ku] (Bhagavad gītā, IV, 11). Jalan Tuhan adalah hukum abadi-Nya. Semua manusia, bahkan semua makhluk, mengikuti hukum abadi-Nya.

Semoga kita selalu diberi kekuatan untuk terus belajar dan pantang menyerah hingga tercapai hasil yang terbaik. Belajar selama hayat dikandung badan, selama kita punya kesempatan untuk hidup, sebelum Mahadewa, Tuhan, memanggil dan berkata, "Nak, saatnya untuk pulang!" (widyastana)

(Telah dimuat di harian Surabaya Post pada tanggal 20 November 2012)

Mengendalikan Diri Demi Kedamaian

Belakangan ini media massa begitu sering menyajikan berita perkelahian antar warga di sejumlah daerah di Indonesia. Rasanya berita semacam ini datang silih berganti, seakan tak pernah berhenti. Belum selesai kasus di satu daerah sudah muncul kejadian di daerah lain. Tak hanya materi menjadi korban, nyawa pun melayang. Yang menderita tak hanya pelaku, mereka yang tak tahu ujung pangkal permasalahan pun turut berduka.

Para pelaku keributan seolah tak peduli pada milik dan nyawa orang lain. Bagi mereka, kepuasan melampiaskan amarah telah menjadi panglima di kepalanya. Negeri ini bagaikan negara tanpa hukum dan penegak hukum. Semua masalah seolah harus diselesaikan dengan tumpahan darah.

Kita yang berada di luar “lingkaran kasus” memang tak akan pernah memahami secara keseluruhan pola pikir mereka, yang memilih jalan kekerasan dalam menghadapi masalah, tetapi kita bisa belajar bahwa kekerasan tak kan pernah menyelesaikan masalah secara tuntas. Dendam di pihak A terhadap pihak B saat itu mungkin terbalas, tetapi di pihak B akan muncul dendam baru terhadap pihak A dan menjadi “bom waktu” yang bisa meledak setiap saat dalam bentuk kekerasan baru.

Kita pun mungkin tak mampu menuntaskan masalah yang mereka hadapi (dan hanya bisa mengelus dada, prihatin), namun kita masih bisa belajar bahwa amarah tak hanya mampu membakar hati, tetapi juga sebuah desa. Tak hanya membunuh sebuah logika, tetapi beberapa keluarga. Amarah tak hanya membuat gelap mata, tetapi gelapnya harapan dan masa depan para korban.

Dari manakah datangnya amarah? Secara duniawi amarah bisa datang karena kehilangan sesuatu/seseorang yang kita cintai, karena penghinaan atau pelecehan, kebencian, dan dendam. Secara rohani amarah muncul dari adanya keterikatan diri kita terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita seperti yang disampaikan oleh Śhrī Kṛṣṇa kepada Arjuna yang termuat dalam Bhagavad gītā , dhyāyato viṣayān puṁsaḥ saṅgas teṣūpajāyate, saṅgāt sañjāyate kāmaḥ kāmāt krodho’bhijāyate [Orang-orang yang selalu memusatkan pikirannya pada obyek-obyek indria, maka keterikatan pada obyek-obyek indria itu akan tumbuh. Dari keterikatan tersebut akan muncul hawa nafsu, (dan) dari hawa nafsu muncullah kemarahan. (Bhagavad gītā, II, 62)] 

krodhād bhavati sammohaḥ sammohāt smṛti-vibhramaḥ, smṛti-bhraṁśād buddhi-nāśo buddhi-nāśāt praṇaśyati [Dari kemarahan muncullah kebingungan yang kuat, akibat kebingungan yang kuat maka ingatan menjadi kacau. Ketika ingatan menjadi kacau balau maka kecerdasan menjadi binasa. Akibat binasanya kecerdasan maka orang mengalami kehancuran dirinya. (Bhagavad gītā, II, 63)]

Dua sloka dari kitab yang agung ini, yang merupakan wacana suci Tuhan sendiri, dalam wujud Śrī Kṛṣṇa, telah menunjukkan penyebab kemarahan dan akibat dari kemarahan itu yaitu kehancuran diri kita sendiri. Lalu, apa gunanya menghancurkan diri sendiri?

Selanjutnya Śrī Kṛṣṇa mengajarkan, rāga-dveṣa-vimuktais tu viṣayān indriyaiś caran, ātma-vaśyair vidheyātmā prasādam adhigacchati [Tetapi orang yang mantap didalam dirinya menjadi terbebaskan dari rasa suka dan rasa tidak suka, memiliki kemampuan mengendalikan indria-indria dengan obyek-obyek indrianya, maka ia mencapai kebersihan hati. (Bhagavad gītā, II, 64)]

Demikianlah ajaran Tuhan agar kita selalu mengendalikian diri, tidak dikuasai oleh indria-indria dan obyek-obyek duniawi. Mantap di dalam diri berarti dia yang telah mampu mengendalikan dan mengusai dirinya dengan baik sehingga pikirannya tidak terombang-ambing kesana-kemari. Orang yang telah memiliki kemantapan diri tidak akan berduka saat kehilangan dan kegirangan saat mendapatkan karena sesungguhnya tak ada yang benar-benar menjadi milik kita. Hanya hadir dalam kurun waktu tertentu yang terbatas untuk kemudian pergi dengan berbagai cara.

Harus diakui memang tidak mudah mengendalikian diri. Tak mudah menganggap sesuatu yang kita miliki sesungguhnya bukan milik kita. Tak mudah merelakan orang yang kita cintai pergi meninggalkan kita selamanya. Tak mudah mengikhlaskan milik kita dirampas. Tak mudah pula bersikap damai manakala penghinaan, pelecehan, ketidak adilan, dan kekerasan menimpa kita. Akan tetapi, kalau Tuhan mengajarkan kita untuk melakukan hal tersebut, itu artinya kita, manusia, mampu melakukannya.

Di antara semua ciptaan Tuhan, manusia memiliki keunggulan yang dalam Bahasa Sansekerta disebut “wiweka” atau kemampuan untuk membedakan hal yang baik dan hal yang buruk, yang patut dan tidak patut, yang benar dan yang salah. Dengan “wiweka” inilah kita arahkan hidup kita menuju kebaikan demi terwujudnya kedamaian.

Mari kita sama-sama berusaha mengendalikan diri agar tidak ada lagi kekerasan-kekerasan yang menelan korban harta benda dan jiwa. Mari kita sama-sama menjaga diri agar tidak terjerumus dalam amarah tak terkendali. Mari kita bina kerukunan dan persaudaraan tanpa memandang latar belakang suku, ras, keyakinan, kelahiran, dan latar belakang duniawi lainnya. Jangan mudah terhasut oleh gosip atau berita yang belum jelas kebenarannya.

Sebuah kata bijak mengatakan: seribu sahabat masihlah sedikit, seorang musuh teramat banyak. Dengan mempunyai sahabat dan kerabat di banyak tempat hidup akan menjadi lebih indah dan lebih mudah. Kemana pun pergi, ada keramahan yang menanti. Sebaliknya, kalau punya satu musuh saja, dunia menjadi sempit dan penuh kesulitan. Setiap langkah penuh ketakutan. Oleh karenanya, hindari permusuhan, pupuk persaudaraan. Vasudhaiva kuṭumbakam : semua mahluk adalah keluarga.

Lokāḥ samastāḥ sukhino bhavantu, semoga semua mahluk damai sejahtera.
(widyastana)



(Telah dimuat di harian sore Surabaya Post tanggal 11 Desember 2012)

"Mengkritisi Penonjolan Paham Siwa Sidhanta" oleh Made Kembar Kerepun

 Sebuah tulisan yang dikirimkan oleh swargya Bpk. I Made Kembar Kerepun Untuk membaca, silakan klik di sini  Mengkritisi Penonjolan Paham Si...