Menjaga Hubungan Suami Istri

Awal Juni 2003, dalam perjalanan pulang dengan bus jurusan Jakarta-Singaraja, saya mendengar percakapan antara supir bus dengan kondekturnya. Sang supir bercerita tentang hidupnya di masa lalu yang beberapa kali kawin-cerai. Ketika menyenangi seorang wanita, dia tidak peduli dengan istrinya. Diceraikannya istrinya agar bisa menikah dengan wanita idaman baru. Di saat-saat seperti itu dia juga tidak peduli dengan anak-anaknya. Semua diserahkan ke istri lamanya dengan pikiran toh dia akan punya anak lagi dari istri baru. Demikian seterusnya, kawin cerai beberapa kali.
Suatu ketika sang supir teringat pada anak-anaknya yang ditinggalkan bersama mantan istri-istrinya. Dia merindukan mereka dan bertanya-tanya, seberapa besar anak-anaknya sekarang, dimana mereka sekolah, bagaimana kehidupan mereka. Kerinduan itu semakin membesar dan ia tergerak untuk menemui anak-anaknya. Dia bercerita tentang sikap mantan istri-istri dan anak-anaknya. Ada mantan istri yang mengijinkannya menemui anak-anaknya ada yang melarang. Ada anak yang mau menemuinya, ada yang menolak bertemu dengan penuh kemarahan. Ada yang bisa ditemui langsung, ada yang ditemui dengan sembunyi-sembunyi karena dilarang mantan istri atau suami baru mantan istrinya. Dia sedih karena ada anaknya yang sama sekali tak mau menemuinya, yang menyimpan dendam karena telah diabaikan.
Di akhir cerita, si supir bus berpesan pada sang kondektur, “Kalau kamu tertarik pada wanita lain dan ada keinginan untuk selingkuh, jangan mengingat istrimu karena kamu pasti akan melihat wanita baru itu lebih baik dari istrimu, tapi ingatlah anak-anakmu. Dengan mengingat anak-anakmu kamu tak akan berpikir meninggalkan mereka!” Bagi saya, ini adalah pesan berharga yang akan saya simpan dalam sanubari.
Kisah menarik lain saya dengar dari seorang pria berusia sekitar 80 tahun di Kota Tanjung, Ibu Kota Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Saya lupa nama pria itu, saya sebut saja “bapak”. Saat itu kami sedang berkumpul dan mengobrol sambil menunggu saatnya latihan meditasi. Di sela obrolan ada seorang teman yang menanyakan kabar kesehatan istri si bapak. Beliau kemudian berceritera bahwa istrinya sudah lama tak bisa bangkit dari tempat tidur. Segalanya dilakukan di tempat tidur. Dialah yang melayani istrinya karena anak-anaknya sudah tinggal terpisah di rumah masing-masing bersama keluarga mereka. Bangun pagi si bapak memasak, kemudian mencuci dan menjemur pakaian, menyapu rumah dan halaman, dan sebagainya. Termasuk membersihkan istrinya.
Si bapak berkata, “Saya menikahinya saat ia berusia 20 tahun. Artinya, ia bersama orang tuanya hanya sampai 20 tahun dan selebihnya istri saya itu hidup bersama saya. Dia telah melayani saya, memberi kebahagiaan dan kepuasan pada saya. Kini saatnya bagi saya untuk melayaninya.” Bagi saya, ini pesan yang sangat menyentuh. Tak akan pernah saya lupakan.
Perkawinan bukanlah pengesahan hubungan sexual, tetapi sebuah kegiatan suci sepasang manusia. Tuhan telah menetapkan aturan-aturan suci untuk hubungan suami istri dengan segala kewajibannya. Dalam Catur Āśrama, kehidupan suami istri disebut sebagai gṛhastha. Bagi yang mengingikan kehidupan keluarganya senantiasa di jalan rohani maka tak cukup hanya sekedar menjadi gṛhastha, tetapi menjadikan kehidupan rumah tangganya sebagai Sat Gṛhastha. Kata sat berarti utama dan Sat Gṛhastha berarti menjadikan kehidupan berumah tangga sebagai keluarga yang mulia, yang selalu berada di jalan Dharma.
Kehidupan Sat Gṛhastha hendaknya dimulai dari sejak awal pemilihan pasangan hidup. Hendaknya kedua pasangan memang saling mencintai dan saling menerima. Selanjutnya mereka harus menjaga pergaulannya tetap di jalan Dharma. Keterikatan atas nama cinta sering kali membuat kita “gelap mata”, tak melihat kebenaran. Maharsi Canakya mengajarkan : na ca paśyanti janmāndhāḥ kāmāndho naiva paśyati, madonmattā na paśyanti arthī doṣaṁ na paśyati (orang yang lahir buta tidak bisa melihat apa-apa, orang yang dibutakan oleh pengaruh hawa nafsu kelamin tidak bisa melihat kesucian, orang yang dalam keadaan mabuk tidak bisa melihat siapa-siapa dan tidak bisa melihat kesucian, orang-orang yang loba pada harta juga tidak bisa melihat dosa; Canakya Niti Sastra, VI, 8).
Dalam perkawinan hendaknya tak hanya hubungan kedua mempelai, tetapi juga kedua keluarga. Ciptakan hubungan yang harmonis antar keluarga. Jangan ada perasaan yang satu lebih tinggi atau lebih mulia dari pada yang lain. Seorang istri tak boleh merendahkan suami dan keluarga suaminya. Demikian sebaliknya seorang suami harus menghargai sang istri dan keluarga istrinya. Semua adalah manusia dengan derajat yang sama. Menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga pasangan adalah satu upaya menjaga kehidupan suami istri.
Pasangan suami istri hendaknya saling menjaga agar hubungan mereka abadi hingga akhir hayat. Manawa Dharma Sastra mengajarkan: anyonyasya-avyabhicāro bhaved a maraṇāntikaḥ, eṣa dharmaḥ samāsena jñeyaḥ strīpuṁsayoḥ paraḥ, hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati. Inilah hukum tertinggi bagi suami istri (IX, 101). Pada shloka 102 disebutkan: tathā nityaṁ yateyātāṁ strīpuṁsau tu kṛtakriyau, yathā nābhicaretāṁ tau viyuktāv itaretaram, hendaknya pria dan wanita yang telah terikat perkawinan berusaha tanpa jemu agar tidak bercerai dan agar masing-masing tidak melanggar kesetiaan.
Jangan pernah ada keinginan saling menguasai satu sama lain. Jangan ada kebohongan di antara suami istri. Suami, selaku kepala keluarga, harus bisa menjaga kehormatan istrinya di hadapan keluarga dan masyarakat. Kalau seorang suami tidak bisa menjaga kehormatan istrinya di hadapan keluarga bagaimana ia bisa menjaganya di hadapan orang lain?
Kepada sepasang suami istri, Manawa Dharma Sastra, III, 60 juga mengajarkan: santuṣṭo bhāryayā bhartā bhartrā bhāryā tatha-eva ca, yasminn eva kule nityaṁ kalyāṇaṁ tatra vai dhruvam, bila dalam sebuah keluarga suami selalu merasa puas dengan istrinya dan istri juga merasa puas dengan suaminya maka dalam keluarga itu selalu ada kebahagiaan sejati.

Sarwe sukinah bhawantu, semoga semua makhluk berbahagia


Yajña

Umat Hindu tak bisa dilepaskan dari Yajña (persembahan suci yang tulus ikhlas). Tampak jelas bahwa Yajña menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup dan kehidupan manusia Hindu. Bahkan bisa dikatakan manusia Hindu terbentuk dari Yajña. Bersatunya pria dan wanita sebagai sepasang suami istri dilakukan melalui Yajña dalam wīwāha saṁskāra. Salah satu tujuan dari wīwāha saṁskāra adalah menyucikan benih kedua mempelai sehingga terlahir keturunan yang diharapkan.
Selanjutnya, ketika pertama kali diketahui adanya pembuahan dilakukan suatu upacara tertentu sebagai rasa syukur dan permohonan pada Hyang Widhi agar benih yang tumbuh dapat terus tumbuh dan berkembang dengan sehat. Demikian juga agar kedua orang tua tetap sehat untuk menjaga benih tersebut. Demikian seterusnya hingga datangnya kematian, hidup manusia Hindu pun ditutup oleh Yajña.
Dasar hukum dari pelaksanaan Yajña adalah Weda. Yajur Weda XXIII.62 menyebutkan “ayaṁ yajño bhuvanasya nābhiḥ” yang artinya: Yajña adalah pusat dari (pergerakan) alam semesta”. Yajña berfungsi untuk penyucian dan kemuliaan, seperti yang tertuang pada Ṛg Weda VIII.19.6 “tasyedarvanto raṁhayanta āśavastasya dyumnitamaṁ yaśaḥ, na tamaṁho devakṛtaṁ kutaścana na martya-kṛtaṁ naśat” (dia yang melaksanakan Yajña dengan teratur, mendapatkan kuda yang cepat geraknya. Kemashyuran yang mulia menyebar ke mana-mana. Dia tidak pernah dipengaruhi oleh dosa).
Bhagawad gita adhiaya III shloka 14 menyebutkan annād bhavanti bhūtāni parjanyād anna-sambhavaḥ, yajñād bhavati parjanyo yajñaḥ karma-samudbhavaḥ  (Semua makhluk hidup dilahirkan dari makanan. Makanan dilahirkan dari hujan. Dan hujan turun karena pelaksanaan persembahan-persembahan suci Yajña. Selanjutnya, persembahan suci Yajña terlahir dari perbuatan). Dari shloka ini dapat disimpulkan bahwa semua makhluk hidup bersumber dari Yajña. Dari Yajña-lah munculnya segala kebutuhan yang diperlukan bagi berkembang dan bertumbuhnya semua makhluk hidup.
Bagaimana Yajña menghadirkan hujan yang kemudian menyediakan kebutuhan hidup semua makhluk? Dalam shloka 26 adhyaya IX Bhagavad gita, patraṁ puṣpaṁ phalaṁ toyaṁ yo me bhaktyā prayacchati, tad ahaṁ bhakty-upahṛtam aśnāmi prayatātmanaḥ  (Mereka yang dengan penuh rasa bhakti mempersembahkan kepada-Ku (walaupun hanya selembar) daun, (sekuntum) bunga, (satu) buah dan (setetes) air, (jika) semua itu dipersembahkan dengan penuh bhakti oleh mereka yang berhati suci murni, maka Aku akan menerimanya). Tentu saja Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Kuasa) tidak butuh buah untuk dimakan atau air untuk diminum, juga daun dan bunga. Syarat-syarat itu sebetulnya adalah untuk kepentingan umat manusia sendiri.
Sebagai umat yang berbhakti pada Sang Maha Pencipta maka tentu saja kita akan berusaha memenuhi ajaran-ajaran yang telah diberikan. Termasuk kita pun berusaha memenuhi kewajiban mempersembahkan daun, bunga, buah, dan air. Agar bisa selalu melakukan Yajña dengan sarana persembahan yang telah ditetapkan tentu sarananya harus selalu tersedia. Sepanjang umat Hindu melakukan Yajña maka sepanjang itulah sarana Yajña harus tersedia. Agar kebutuhan Yajña tersedia, tentu saja kita harus menanam dan memelihara pohon serta menjaga sumber-sumber air agar tetap mengalir dan terjaga kebersihannya.
Umat Hindu menjadi terarah untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Dengan tumbuhnya pepohonan, yang sekedar menghasilkan bunga dan yang menghasilkan buah, dan terjaganya sumber air maka akan memberikan makanan yang cukup bagi semua makhluk. Tidak hanya manusia. Lebah-lebah mengisap sari bunga yang kemudian menghasilkan madu. Kebutuhan pakan ternak tersedia dengan baik. Sapi yang sehat mampu memberi susu yang baik yang menyempurnakan kebutuhan gizi manusia.
Dalam tradisi Yajña di Bali, khususnya dalam upacara-upacara besar, dibutuhkan berbagai macam jenis daun, kayu, buah, dan bunga yang menjadi simbol-simbol (yantra) tertentu dari mantra. Bahkan beberapa jenis rumput pun diperlukan untuk sebuah Yajña. Bagi yang tidak paham akan fungsinya, beberapa pohon tampak seperti semak yang mengganggu.
Dari syarat dasar yang telah disampaikan di atas, manusia dengan kreatifitasnya kemudian membuat berbagai bentuk persembahan yang merupakan yantra (simbol) yang memiliki makna-makna spiritual yang tinggi dan indah. Yang paling sederhana misalnya adalah porosan. Poros berarti inti. Porosan menjadi inti setiap banten yang selalu ada dalam setiap banten. Ia terdiri dari daun sirih, kapur sirih, dan buah pinang. Buah pinang yang berwarna kemerahan melambangkan Dewa Brahma; daun sirih yang berwarna gelap melambangkan Dewa Wishnu (warna simbol Wishnu sebetulnya adalah hitam); dan kapur sirih yang berwarna putih adalah simbol Dewa Shiva. Dewa (sering juga ditulis Deva) berasal dari kata dew/dev yang berarti cahaya kemuliaan Tuhan. Brahma, Wishnu, dan Shiwa adalah kekuatan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur. Semua yang ada di alam ini diciptakan, dipelihara, dan akhirnya dilebur kembali ke Pañca Maha Bhūta (air, udara, tanah, angin, dan kekosongan). Ini bukan berarti ada tiga Tuhan. Tuhan hanyalah satu, tunggal, ekam evādwitīyaṁ Brahman: hanya satu dan tidak ada duanya Sang Maha Pencipta (Tuhan) itu. Ini seperti matahari yang satu yang memiliki berbagai spektrum cahaya dengan energi/kekuatan masing-masing.
Selanjutnya tentang Yajña, Śrī Kṛṣṇa mengajarkan, yat karoṣi yad aśnāsi yaj juhoṣi dadāsi yat, yat tapasyasi kaunteya tat kuruṣva mad-arpaṇam, Apa pun yang engkau lakukan, apa pun yang engkau makan, apa pun yang engkau persembahkan, apa pun yang engkau berikan, serta pertapaan apa pun yang engkau lakukan, wahai putra Kunti, lakukanlah semua itu sebagai persembahan kepada-Ku.

Jadi, Tuhan mengajarkan agar kita mempersembahkan segala aspek kehidupan kita pada Beliau. Karena semua aspek kehidupan kita adalah Yajña maka tentu saja kita harus menjaga hidup kita, yang kita lakukan, yang kita makan, terjaga tetap indah karena hanya sesuatu yang indah sajalah yang layak dipersembahkan pada Tuhan. Mari kita singkirkan segala kekotoran dalam diri kita, dalam pekerjaan kita, dalam pergaulan kita. Jauhi makanan dan minuman yang tak layak dikonsumsi, baik secara kesehatan maupun rohani. Jauhi kehidupan yang kotor. Agar kita layak datang pada Tuhan dan mempersembahkan seluruh kehidupan kita pada-Nya.
Sarwe sukhinah bhawantu, semoga semua makhluk berbahagia.
(widyastana)



"Mengkritisi Penonjolan Paham Siwa Sidhanta" oleh Made Kembar Kerepun

 Sebuah tulisan yang dikirimkan oleh swargya Bpk. I Made Kembar Kerepun Untuk membaca, silakan klik di sini  Mengkritisi Penonjolan Paham Si...