Berkah Menunggu Waktu

Dikisahkan tentang seseorang yang sangat taat memuja Dewi Lakshmi untuk memohon kemakmuran material. Bertahun-tahun ia melakukan pemujaan sesuai aturan memuja Dewi Lakshmi, tetapi berkah yang diharapkan tak kunjung datang.

Saat usia semaki tua, ia memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi, menjadi seorang pertapa. Ia mencapai pencerahan dan memiliki banyak pengikut.

Pada suatu hari, saat ia melaksanakan puja bhakti, tiba-tiba Dewi Lakshmi hadir di hadapannya untuk memberi berkah. Orang itu berkata, “Bertahun-tahun lalu hamba memuja Anda untuk memohon berkah, tetapi Anda tak memenuhi keinginan hamba. Kini, di saat hamba sudah tak lagi menginginkan kehidupan materi, Anda datang di hadapan hamba.”

Dewi Lakshmi menjawab, “Bila Aku datang padamu lebih awal, engkau tak akan mencapai tahapan seperti sekarang ini. Kini aku datang memberkatimu agar engkau dapat menyampaikan ajaran rohani kepada lebih banyak orang. Harta yang Kuberi adalah pengetahuan yang tak kan habis dimakan sang waktu.”

Catatan: Sering kita harus menunggu dalam waktu yang panjang untuk terpenuhinya keinginan kita. Keinginan itu akan datang pada saat yang terbaik untuk tujuan yang terindah.

Tegar dalam Badai

Ada kalimat motivasi yang menarik yang disampaikan Bpk Gede Prama saat berbicara di hadapan pimpinan dan karyawan perusahaan tempat saya bekerja yaitu, “Dalam hempasan badai hanya pohon-pohon berkualitas baik yang tetap tegak berdiri”. Dengan kalimat inspiratif itu, Bpk Gede Prama mengajak seluruh karyawan untuk menjadi orang-orang berkualitas agar tidak mudah tumbang diterjang badai kehidupan.
Hidup memang tak selalu damai, tak selalu lurus. Kadang kerasnya hidup menerpa kita dengan berbagai masalah. Untuk tetap bertahan hidup, kita kadang harus menempuh jalan yang berliku dan berbatu.
Kalau kita rajin membaca buku tentang kisah sukses atau biografi seseorang tentu sering kita temui kisah-kisah saat orang tersebut mengalami masa-masa sulit dalam kehidupannya. Terpuruk dari bisnis, terkena PHK, gagal dalam pendidikan, masalah keluarga, dan sebagainya yang kemudian berhasil mereka lewati melalui perjuangan hidup dan usaha yang tidak mudah.
Di sisi lain, sering pula kita membaca kisah cengeng tentang patah hati, kisah pilu tentang stres dan sakit jiwa, atau kisah tragis tentang bunuh diri dari orang-orang yang gagal dalam meraih hal-hal yang mereka inginkan. Bagi orang-orang ini, seolah semua jalan buntu dan dunia kiamat begitu mereka mengalami kegagalan. Mereka menyebutnya sebagai harga diri, tetapi mengapa harga diri dinilai terlalu murah hanya dengan segelas racun nyamuk?
Ada joke yang menggelitik, “Di balik sukses seseorang, ada mantan yang kecewa.” Gigihlah meraih sukses (tentu di jalan yang benar) dan buatlah mantan kita kecewa. Entah itu mantan pacar, mantan atasan, mantan bawahan, dan mantan-mantan lainnya. Jangan kita yang kecewa karena mereka lebih sukses. Jangan kita yang stres dan bunuh diri melihat orang lain sukses. Sementara kita konyol, mereka tetap sukses.
Di sebuah majalah saya pernah membaca sebuah “kata mutiara”: bagi seorang pesimis, masalah adalah bencana; bagi seorang optimis, masalah adalah kesempatan; bagi orang peptimis (sangat optimis) masalah adalah berkah.
Memang sangat sulit menemukan berkah di balik musibah. Apanya yang berkah kalau harta hilang dalam sekejap? Apanya yang berkah kalau orang yang dicinta pergi untuk selamanya? Di mana ada kesempatannya kalau terkena PHK? Kita baru menyadari adanya berkah di balik musibah setelah waktu berlalu dan ketika kita bisa berkata, “Kalau saja dulu tidak begitu tentu saja sekarang saya tidak begini!” dan kalimat lain semacam itu. Saat itulah tangis derita yang pernah muncul di masa lalu berubah jadi senyum bahagia penuh rasa syukur di masa kini.
Rasa sedih, kebencian, kecewa, dan amarah adalah rasa yang muncul karena adanya keterikatan kita pada sesuatu, bisa berupa benda (barang, uang, harta lainnya), manusia, hewan, pekerjaan, jabatan, status sosial, dan lain-lain. Saat kita diputus dari hubungan tersebut secara paksa dan tiba-tiba maka saat itulah kita merasa sakit.
Marilah kita belajar menerima segala yang kita dapatkan dan kita miliki ini dengan damai. Menyadari bahwa semua adalah titipan yang bisa diambil oleh pemiliknya kapan saja. Tetaplah tenang di dalam rasa suka maupun duka. Tidak melonjak kegirangan saat bahagia dan tidak terpuruk layu saat menderita. Shri Krshna mengajarkan, “duḥkheṣv anudvigna-manāḥ sukheṣu vigata-spṛhaḥ, vīta-rāga-bhaya-krodhaḥ sthita-dhīr munir ucyate (orang yang pikirannya tidak tergoyahkan di dalam duka, tidak riang berlebihan di dalam keadaan suka, bebas dari ikatan, kecemasan, dan kemarahan, dia disebut sebagai seorang muni yang memiliki kesadaran yang mantap.)” “Muni” adalah sebutan bagi orang-orang yang memahami dan menjalankan ajaran rohani secara total.
Beliau juga menyampaikan, “dhyāyato viṣayān puṁsaḥ saṅgas teṣūpajāyate, saṅgāt sañjāyate kāmaḥ kāmāt krodho'bhijāyate  (Orang-orang yang selalu memusatkan pikirannya pada obyek-obyek indria, maka keterikatan pada obyek-oyek indria itu akan tumbuh. Dari keterikatan tersebut akan muncul hawa nafsu, (dan) dari hawa nafsu muncullah kemarahan.” Kemarahan yang timbul akibat kehilangan sesuatu bisa muncul karena kita sangat terikat pada sesuatu itu.
Mari kita belajar untuk seimbang dalam suka dan duka. Menerima semua warna kehidupan dengan damai. “jitātmanaḥ praśāntasya paraṁātmā samāhitaḥ, śītoṣṇa-sukha-duḥkheṣu tathā mānāpamānayoḥ  (Mereka yang sudah menaklukkan dirinya sendiri menjadi tidak tergoyahkan di dalam panas atau dingin, suka atau duka, pujian atau hinaan, dan orang yang sudah mencapai kedamaian batin seperti itu akan mencapai Tuhan Yang Maha Kuasa). Menaklukkan diri sendiri berarti mampu mengendalikan diri. Dengan pengendalian diri yang baik, yang berserah diri pada Hyang Widhi maka kita akan semakin dekat dengan-Nya dan Beliau pun akan semakin mengasihi kita.
Sesungguhnya Tuhan sangat mengasihi orang-orang yang berbhakti kepada-Nya dan kepada kita yang berserah diri kepada Tuhan, Beliau berjanji, “ananyāś cintayanto māṁ ye janāḥ paryupāsate, teṣāṁ nityābhiyuktānāṁ  yoga-kṣemaṁ vahāmy ahaṁ (Orang-orang yang memuja-Ku dengan selalu memusatkan pikirannya hanya satu kepada-Ku, kesadarannya senantiasa  lelap di dalam cinta kasih bhakti kepada-Ku, kepada mereka Aku bawakan segala yang dibutuhkannya dan melindungi segala yang mereka miliki).
Dengan demikian tak ada alasan untuk frustrasi, patah semangat, dan menjadi “pohon yang tumbang” dihempas badai kehidupan. Mari kita yakini bahwa Tuhan selalu memberi yang terbaik bagi kita. Tegar menghadapi hidup, selalu ada hari esok yang lebih baik.
Sarve sukhinaḥ bhavantu. Semoga semua makhluk berbahagia

04/02/2014

Menjaga Hubungan Suami Istri

Awal Juni 2003, dalam perjalanan pulang dengan bus jurusan Jakarta-Singaraja, saya mendengar percakapan antara supir bus dengan kondekturnya. Sang supir bercerita tentang hidupnya di masa lalu yang beberapa kali kawin-cerai. Ketika menyenangi seorang wanita, dia tidak peduli dengan istrinya. Diceraikannya istrinya agar bisa menikah dengan wanita idaman baru. Di saat-saat seperti itu dia juga tidak peduli dengan anak-anaknya. Semua diserahkan ke istri lamanya dengan pikiran toh dia akan punya anak lagi dari istri baru. Demikian seterusnya, kawin cerai beberapa kali.
Suatu ketika sang supir teringat pada anak-anaknya yang ditinggalkan bersama mantan istri-istrinya. Dia merindukan mereka dan bertanya-tanya, seberapa besar anak-anaknya sekarang, dimana mereka sekolah, bagaimana kehidupan mereka. Kerinduan itu semakin membesar dan ia tergerak untuk menemui anak-anaknya. Dia bercerita tentang sikap mantan istri-istri dan anak-anaknya. Ada mantan istri yang mengijinkannya menemui anak-anaknya ada yang melarang. Ada anak yang mau menemuinya, ada yang menolak bertemu dengan penuh kemarahan. Ada yang bisa ditemui langsung, ada yang ditemui dengan sembunyi-sembunyi karena dilarang mantan istri atau suami baru mantan istrinya. Dia sedih karena ada anaknya yang sama sekali tak mau menemuinya, yang menyimpan dendam karena telah diabaikan.
Di akhir cerita, si supir bus berpesan pada sang kondektur, “Kalau kamu tertarik pada wanita lain dan ada keinginan untuk selingkuh, jangan mengingat istrimu karena kamu pasti akan melihat wanita baru itu lebih baik dari istrimu, tapi ingatlah anak-anakmu. Dengan mengingat anak-anakmu kamu tak akan berpikir meninggalkan mereka!” Bagi saya, ini adalah pesan berharga yang akan saya simpan dalam sanubari.
Kisah menarik lain saya dengar dari seorang pria berusia sekitar 80 tahun di Kota Tanjung, Ibu Kota Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Saya lupa nama pria itu, saya sebut saja “bapak”. Saat itu kami sedang berkumpul dan mengobrol sambil menunggu saatnya latihan meditasi. Di sela obrolan ada seorang teman yang menanyakan kabar kesehatan istri si bapak. Beliau kemudian berceritera bahwa istrinya sudah lama tak bisa bangkit dari tempat tidur. Segalanya dilakukan di tempat tidur. Dialah yang melayani istrinya karena anak-anaknya sudah tinggal terpisah di rumah masing-masing bersama keluarga mereka. Bangun pagi si bapak memasak, kemudian mencuci dan menjemur pakaian, menyapu rumah dan halaman, dan sebagainya. Termasuk membersihkan istrinya.
Si bapak berkata, “Saya menikahinya saat ia berusia 20 tahun. Artinya, ia bersama orang tuanya hanya sampai 20 tahun dan selebihnya istri saya itu hidup bersama saya. Dia telah melayani saya, memberi kebahagiaan dan kepuasan pada saya. Kini saatnya bagi saya untuk melayaninya.” Bagi saya, ini pesan yang sangat menyentuh. Tak akan pernah saya lupakan.
Perkawinan bukanlah pengesahan hubungan sexual, tetapi sebuah kegiatan suci sepasang manusia. Tuhan telah menetapkan aturan-aturan suci untuk hubungan suami istri dengan segala kewajibannya. Dalam Catur Āśrama, kehidupan suami istri disebut sebagai gṛhastha. Bagi yang mengingikan kehidupan keluarganya senantiasa di jalan rohani maka tak cukup hanya sekedar menjadi gṛhastha, tetapi menjadikan kehidupan rumah tangganya sebagai Sat Gṛhastha. Kata sat berarti utama dan Sat Gṛhastha berarti menjadikan kehidupan berumah tangga sebagai keluarga yang mulia, yang selalu berada di jalan Dharma.
Kehidupan Sat Gṛhastha hendaknya dimulai dari sejak awal pemilihan pasangan hidup. Hendaknya kedua pasangan memang saling mencintai dan saling menerima. Selanjutnya mereka harus menjaga pergaulannya tetap di jalan Dharma. Keterikatan atas nama cinta sering kali membuat kita “gelap mata”, tak melihat kebenaran. Maharsi Canakya mengajarkan : na ca paśyanti janmāndhāḥ kāmāndho naiva paśyati, madonmattā na paśyanti arthī doṣaṁ na paśyati (orang yang lahir buta tidak bisa melihat apa-apa, orang yang dibutakan oleh pengaruh hawa nafsu kelamin tidak bisa melihat kesucian, orang yang dalam keadaan mabuk tidak bisa melihat siapa-siapa dan tidak bisa melihat kesucian, orang-orang yang loba pada harta juga tidak bisa melihat dosa; Canakya Niti Sastra, VI, 8).
Dalam perkawinan hendaknya tak hanya hubungan kedua mempelai, tetapi juga kedua keluarga. Ciptakan hubungan yang harmonis antar keluarga. Jangan ada perasaan yang satu lebih tinggi atau lebih mulia dari pada yang lain. Seorang istri tak boleh merendahkan suami dan keluarga suaminya. Demikian sebaliknya seorang suami harus menghargai sang istri dan keluarga istrinya. Semua adalah manusia dengan derajat yang sama. Menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga pasangan adalah satu upaya menjaga kehidupan suami istri.
Pasangan suami istri hendaknya saling menjaga agar hubungan mereka abadi hingga akhir hayat. Manawa Dharma Sastra mengajarkan: anyonyasya-avyabhicāro bhaved a maraṇāntikaḥ, eṣa dharmaḥ samāsena jñeyaḥ strīpuṁsayoḥ paraḥ, hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati. Inilah hukum tertinggi bagi suami istri (IX, 101). Pada shloka 102 disebutkan: tathā nityaṁ yateyātāṁ strīpuṁsau tu kṛtakriyau, yathā nābhicaretāṁ tau viyuktāv itaretaram, hendaknya pria dan wanita yang telah terikat perkawinan berusaha tanpa jemu agar tidak bercerai dan agar masing-masing tidak melanggar kesetiaan.
Jangan pernah ada keinginan saling menguasai satu sama lain. Jangan ada kebohongan di antara suami istri. Suami, selaku kepala keluarga, harus bisa menjaga kehormatan istrinya di hadapan keluarga dan masyarakat. Kalau seorang suami tidak bisa menjaga kehormatan istrinya di hadapan keluarga bagaimana ia bisa menjaganya di hadapan orang lain?
Kepada sepasang suami istri, Manawa Dharma Sastra, III, 60 juga mengajarkan: santuṣṭo bhāryayā bhartā bhartrā bhāryā tatha-eva ca, yasminn eva kule nityaṁ kalyāṇaṁ tatra vai dhruvam, bila dalam sebuah keluarga suami selalu merasa puas dengan istrinya dan istri juga merasa puas dengan suaminya maka dalam keluarga itu selalu ada kebahagiaan sejati.

Sarwe sukinah bhawantu, semoga semua makhluk berbahagia


Yajña

Umat Hindu tak bisa dilepaskan dari Yajña (persembahan suci yang tulus ikhlas). Tampak jelas bahwa Yajña menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup dan kehidupan manusia Hindu. Bahkan bisa dikatakan manusia Hindu terbentuk dari Yajña. Bersatunya pria dan wanita sebagai sepasang suami istri dilakukan melalui Yajña dalam wīwāha saṁskāra. Salah satu tujuan dari wīwāha saṁskāra adalah menyucikan benih kedua mempelai sehingga terlahir keturunan yang diharapkan.
Selanjutnya, ketika pertama kali diketahui adanya pembuahan dilakukan suatu upacara tertentu sebagai rasa syukur dan permohonan pada Hyang Widhi agar benih yang tumbuh dapat terus tumbuh dan berkembang dengan sehat. Demikian juga agar kedua orang tua tetap sehat untuk menjaga benih tersebut. Demikian seterusnya hingga datangnya kematian, hidup manusia Hindu pun ditutup oleh Yajña.
Dasar hukum dari pelaksanaan Yajña adalah Weda. Yajur Weda XXIII.62 menyebutkan “ayaṁ yajño bhuvanasya nābhiḥ” yang artinya: Yajña adalah pusat dari (pergerakan) alam semesta”. Yajña berfungsi untuk penyucian dan kemuliaan, seperti yang tertuang pada Ṛg Weda VIII.19.6 “tasyedarvanto raṁhayanta āśavastasya dyumnitamaṁ yaśaḥ, na tamaṁho devakṛtaṁ kutaścana na martya-kṛtaṁ naśat” (dia yang melaksanakan Yajña dengan teratur, mendapatkan kuda yang cepat geraknya. Kemashyuran yang mulia menyebar ke mana-mana. Dia tidak pernah dipengaruhi oleh dosa).
Bhagawad gita adhiaya III shloka 14 menyebutkan annād bhavanti bhūtāni parjanyād anna-sambhavaḥ, yajñād bhavati parjanyo yajñaḥ karma-samudbhavaḥ  (Semua makhluk hidup dilahirkan dari makanan. Makanan dilahirkan dari hujan. Dan hujan turun karena pelaksanaan persembahan-persembahan suci Yajña. Selanjutnya, persembahan suci Yajña terlahir dari perbuatan). Dari shloka ini dapat disimpulkan bahwa semua makhluk hidup bersumber dari Yajña. Dari Yajña-lah munculnya segala kebutuhan yang diperlukan bagi berkembang dan bertumbuhnya semua makhluk hidup.
Bagaimana Yajña menghadirkan hujan yang kemudian menyediakan kebutuhan hidup semua makhluk? Dalam shloka 26 adhyaya IX Bhagavad gita, patraṁ puṣpaṁ phalaṁ toyaṁ yo me bhaktyā prayacchati, tad ahaṁ bhakty-upahṛtam aśnāmi prayatātmanaḥ  (Mereka yang dengan penuh rasa bhakti mempersembahkan kepada-Ku (walaupun hanya selembar) daun, (sekuntum) bunga, (satu) buah dan (setetes) air, (jika) semua itu dipersembahkan dengan penuh bhakti oleh mereka yang berhati suci murni, maka Aku akan menerimanya). Tentu saja Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Kuasa) tidak butuh buah untuk dimakan atau air untuk diminum, juga daun dan bunga. Syarat-syarat itu sebetulnya adalah untuk kepentingan umat manusia sendiri.
Sebagai umat yang berbhakti pada Sang Maha Pencipta maka tentu saja kita akan berusaha memenuhi ajaran-ajaran yang telah diberikan. Termasuk kita pun berusaha memenuhi kewajiban mempersembahkan daun, bunga, buah, dan air. Agar bisa selalu melakukan Yajña dengan sarana persembahan yang telah ditetapkan tentu sarananya harus selalu tersedia. Sepanjang umat Hindu melakukan Yajña maka sepanjang itulah sarana Yajña harus tersedia. Agar kebutuhan Yajña tersedia, tentu saja kita harus menanam dan memelihara pohon serta menjaga sumber-sumber air agar tetap mengalir dan terjaga kebersihannya.
Umat Hindu menjadi terarah untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Dengan tumbuhnya pepohonan, yang sekedar menghasilkan bunga dan yang menghasilkan buah, dan terjaganya sumber air maka akan memberikan makanan yang cukup bagi semua makhluk. Tidak hanya manusia. Lebah-lebah mengisap sari bunga yang kemudian menghasilkan madu. Kebutuhan pakan ternak tersedia dengan baik. Sapi yang sehat mampu memberi susu yang baik yang menyempurnakan kebutuhan gizi manusia.
Dalam tradisi Yajña di Bali, khususnya dalam upacara-upacara besar, dibutuhkan berbagai macam jenis daun, kayu, buah, dan bunga yang menjadi simbol-simbol (yantra) tertentu dari mantra. Bahkan beberapa jenis rumput pun diperlukan untuk sebuah Yajña. Bagi yang tidak paham akan fungsinya, beberapa pohon tampak seperti semak yang mengganggu.
Dari syarat dasar yang telah disampaikan di atas, manusia dengan kreatifitasnya kemudian membuat berbagai bentuk persembahan yang merupakan yantra (simbol) yang memiliki makna-makna spiritual yang tinggi dan indah. Yang paling sederhana misalnya adalah porosan. Poros berarti inti. Porosan menjadi inti setiap banten yang selalu ada dalam setiap banten. Ia terdiri dari daun sirih, kapur sirih, dan buah pinang. Buah pinang yang berwarna kemerahan melambangkan Dewa Brahma; daun sirih yang berwarna gelap melambangkan Dewa Wishnu (warna simbol Wishnu sebetulnya adalah hitam); dan kapur sirih yang berwarna putih adalah simbol Dewa Shiva. Dewa (sering juga ditulis Deva) berasal dari kata dew/dev yang berarti cahaya kemuliaan Tuhan. Brahma, Wishnu, dan Shiwa adalah kekuatan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur. Semua yang ada di alam ini diciptakan, dipelihara, dan akhirnya dilebur kembali ke Pañca Maha Bhūta (air, udara, tanah, angin, dan kekosongan). Ini bukan berarti ada tiga Tuhan. Tuhan hanyalah satu, tunggal, ekam evādwitīyaṁ Brahman: hanya satu dan tidak ada duanya Sang Maha Pencipta (Tuhan) itu. Ini seperti matahari yang satu yang memiliki berbagai spektrum cahaya dengan energi/kekuatan masing-masing.
Selanjutnya tentang Yajña, Śrī Kṛṣṇa mengajarkan, yat karoṣi yad aśnāsi yaj juhoṣi dadāsi yat, yat tapasyasi kaunteya tat kuruṣva mad-arpaṇam, Apa pun yang engkau lakukan, apa pun yang engkau makan, apa pun yang engkau persembahkan, apa pun yang engkau berikan, serta pertapaan apa pun yang engkau lakukan, wahai putra Kunti, lakukanlah semua itu sebagai persembahan kepada-Ku.

Jadi, Tuhan mengajarkan agar kita mempersembahkan segala aspek kehidupan kita pada Beliau. Karena semua aspek kehidupan kita adalah Yajña maka tentu saja kita harus menjaga hidup kita, yang kita lakukan, yang kita makan, terjaga tetap indah karena hanya sesuatu yang indah sajalah yang layak dipersembahkan pada Tuhan. Mari kita singkirkan segala kekotoran dalam diri kita, dalam pekerjaan kita, dalam pergaulan kita. Jauhi makanan dan minuman yang tak layak dikonsumsi, baik secara kesehatan maupun rohani. Jauhi kehidupan yang kotor. Agar kita layak datang pada Tuhan dan mempersembahkan seluruh kehidupan kita pada-Nya.
Sarwe sukhinah bhawantu, semoga semua makhluk berbahagia.
(widyastana)



Kiamat

Dengan mengucapkan Oṁ Namo Bhagavate Vāsudevāya (sembah sujud hamba [namo] kepada Tuhan [Oṁ] Yang Maha Mulia [Bhagavan], Jiwa alam semesta [Vāsudevā]), saya menyampaikan rasa syukur karena masih diijinkan untuk bisa menjumpai para pembaca di tahun 2013 ini dan berbagi sedikit pengetahuan yang saya miliki. Mari kita tekadkan bahwa kesempatan yang masih kita miliki ini kita gunakan untuk menjadikan hidup lahir bathin kita lebih baik.

Satu hal yang saya syukuri juga setelah meninggalkan tahun 2012 adalah: ternyata dunia belum kiamat. Ya, tahun lalu dunia sempat “ribut” mengenai akan datangnya kiamat pada tanggal 12-12-2012 atau 21-12-2012. “Keributan” ini bersumber pada temuan kalender Suku Maya yang konon berakhir pada tahun 2012. Sebuah gambar kartun yang saya temui di sebuah web menggambarkan seorang Suku Maya berkata “Saya hanya punya tempat untuk menulis kalender hingga tahun 2012 saja!” Temannya yang diajak bicara menjawab, “Ha! Kelak hal itu akan membingungkan banyak orang!”.

Beberapa pendapat yang sempat saya baca mengatakan bahwa berakhirnya kalender Suku Maya di tahun 2012 bukan berarti berakhirnya dunia di tahun tersebut, tetapi setelah 2012 sistim perhitungan kalender Maya kembali ke awal. Bagi para pemerhati kalender Bali pasti mengenal istilah “Pangalantaka” yang pada periode tertentu akan “nemu gelang” alias kembali ke titik awal. Seperti halnya juga “Pawukon” yang berjumlah 30, diawali dari “Shinta” dan berakhir pada “Watugunung” yang kemudian kembali ke “Shinta” dan seterusnya. Demikian juga 7 hari yang sangat kita kenal yang selalu berulang.

Bagaimana pandangan Weda tentang hari kiamat atau yang disebut “Pralaya”? Kapan kiamat akan datang? “Pralaya” berarti hancur lebur. Dalam Bhagavad gita Adhyaya 8, shloka 18, penciptaan dan kehancuran alam semesta disebutkan sebagai avyaktad vyaktayah sarvah prabhavanty ahar-agame, ratry-agame praliyante tatraivavyakta-samjnake (Pada awal dari siang hari Brahma (Tuhan), semua makhluk hidup tercipta dari yang tak berwujud, dan pada awal dari malam hari Brahma, semua terlebur kembali menjadi yang tidak berwujud). Berapakah lamanya siang hari dan malam hari Brahma? Masing-masing lamanya adalah 1 Yuga.

Dalam ajaran Hindu kita mengenal istilah Mahayuga. Satu Mahayuga terdiri dari satu siklus Catur Yuga, yaitu Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Satya Yuga lamanya 1.728.000 tahun; Treta Yuga lamanya 1.296.000 tahun; Dwapara Yuga lamanya 864.000 tahun; dan Kali Yuga lamanya 432.000 tahun. Dengan demikian 1 Mahayuga lamanya 4.320.000 tahun.
Siklus Catur Yuga ini terus berulang, dari Satya Yuga hingga Kali Yuga dan kembali ke Satya Yuga. Satu siklus yang terdiri dari Catur Yuga disebut 1 Mahayuga. Setelah 71 Mahayuga disebut 1 Manwantara dan 14 Manwantara disebut 1 Kalpa. Setelah 1 Kalpa ini barulah alam semesta ini dihancurkan. Menurut Surya Siddhanta, Kali Yuga dimulai tengah malam, pukul 00.00, antara tanggal 17 dan 18 Februari 3102 SM. Dengan demikian hingga tanggal 18 Februari 2013 mendatang Kali Yuga telah berlangsung selama 5.115 tahun. Masih tersisa 426.885 tahun lagi. Entah di mana kita saat itu. Entah jadi apa kita saat itu. Dengan kata lain, tenang saja, kiamat masih jauh.

Sebaiknya kita tidak berkonsentrasi pada kiamat, tetapi mari kita manfaatkan kesempatan hidup sebagai manusia kali ini sebagai jalan mencapai pembebasan, suka tan pawali dhuka. Untuk terlahir dengan badan manusia ini sangatlah sulit. Dalam hidup-hidup lalu kita, telah banyak badan yang kita dapatkan dan dengan perjuangan keras, dengan ribuan kali kelahiran dan kematian, akhirnya kita berhasil mendapat badan manusia. Narayana (Tuhan Yang Maha Esa) telah memberi kesempatan yang mungkin hanya kita dapatkan sekali dalam sejuta kelahiran. Akankah kita sia-siakan dengan menjadi “dvipada pashu” alias binatang berkaki dua? Akankah kita sia-siakan dengan menjauhkan diri dari jalan Dharma demi pemuasan nafsu dan kenikmatan sesaat?

Sekaranglah saatnya kita harus memahami dari mana asal kita dan apa tujuan hidup kita sebagai manusia. Untuk mengetahui asal dan tujuan hidup maka kita perlu mempelajari ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Brahman yang dicatat oleh para Maharsi dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran Hyang Parama Kawi inilah yang akan menuntun kita mencapai tujuan hidup manusia ini. Ibarat buku manual yang kita dapat saat membeli tv atau kendaraan, bila kita benar mengikuti petunjuk dalam manual book itu pasti tv akan menyala baik atau kendaraan berfungsi dengan baik dan berusia panjang. Sebaliknya, kalau ngawur tanpa memperhatikan petunjuk maka sangat mungkin kita melakukan kesalahan dan tv atau kendaraan itu pun rusak.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, tujuan utama manusia dalam ajaran Hindu adalah Moksa dan disebut dengan “Moksartam Jagathita Ya Ca Iti Dahrma” (Dharma itu bertujuan untuk mencapai kesejahteraan hidup [jagat hita] dan pembebasan [moksa]). Pencapaian moksa merupakan bagian puncak dari Catur Purusa Artham (artham=kemakmuran) yang terdiri dari: Dharma (ajaran agama), Artha (harta), Kama (kebutuhan hidup), Moksa (pelepasan). Dharma menjadi fondasi dari Catur Purusa Artham untuk mencapai artha dan kama sehingga kita bisa mencapai moksa. Bila artha dan kama tidak dilandasi Dharma pastilah moksa jauh dari jangkauan.

Maharsi Canakya mengatakan: dharmartha kama moksesu yasyaiko'pi na vidyate, janma janmani martyesu maranam tasya kevalam (Dharma/kebenaran, Artha/kekayaan, Kama/kepuasan keinginan, dan Moksa/pembebasan, kalau satu pun dari keempat hal tersebut tidak bisa dicapai, kelahiran demi kelahiran di dunia material ini hanyalah untuk mati; Canakya Niti Sastra, 3, 20). Kemudian pada Adhyaya 6, 1 Canakya Niti Sastra disebutkan: srutva dharmam vijanati srutva tyajati durmatim, srutva jnanamavapnoti srutva moksamavapnuyat (Setelah membaca dan mendengar Veda orang bisa mengerti dharma, dengan mendengarkan Veda pikiran-pikiran buruk bisa dihilangkan, dengan mendengarkan Veda orang bisa betul-betul berpengetahuan, hanya dengan mendengarkan Veda orang bisa mendapatkan kebebasan).

Hari Sabtu tanggal 12 Januari 2013 kita akan merayakan Hari Saraswati sebagai bentuk rasa syukur kita atas karunia pengetahuan yang diajarkan Tuhan bagi umat manusia. Bagi yang hendak menekuni belajar Weda inilah saat yang baik untuk memantapkan diri, membulatkan tekad dan memohon berkah Beliau agar layak untuk menerima dan menjalankan ajaran-ajaran suci. Hari Saraswati juga merupakan saat yang baik untuk memohon agar kita ditunjukkan Guru yang utama yang bisa membimbing kita dalam memahami ajaran-ajaran Weda. Bagi yang telah menekuni ajaran Weda, hari suci ini merupakan saat “charging battery” tekad kita agar tetap mantap, tidak goyah oleh kerlap-kerlip pergaulan dan duniawi.

Dengan memahami ajaran Weda maka kita tak akan takut lagi menghadapi kiamat, baik kiamat alam maupun kiamat diri (kematian diri kita) karena Shri Krshna dalam Bhagavad gita telah mengajarkan: vasamsi jirnani yatha vihaya navani grhnati naro ’parani, tatha sharirani vihaya jirnany anyani samyati navani dehi (Sebagaimana halnya seseorang menanggalkan pakaian yang sudah usang dan mengenakan pakaian yang baru, seperti itu pula sang roh meninggalkan badan jasmani yang sudah tidak berguna dan memasuki badan jasmani yang baru. Bhagavad gita, 2,22)
Sarve sukinah bhavantu, semoga semua makhluk berbahagia.
(widyastana)

Acuh

Semoga tidak terlalu terlambat untuk mengucapkan Selamat Tahun Baru 2014 kepada segenap jajaran Surabaya Post dan seluruh pembaca. Semoga kita masih diijinkan untuk terus belajar berbenah diri, menemukan kebenaran sejati, serta menjauhkan diri dari segala yang salah dan tidak baik.
Saya sering membaca atau mendengar penggunaan kata “acuh” yang tidak tepat. Ya, banyak orang yang mengira (meyakini) bahwa kata “acuh” bermakna tidak peduli atau dalam bahasa gaulnya adalah “cuek”. Padahal, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “acuh” berarti mengindahkan atau peduli. “Mengacuhkan” berarti memedulikan, mengindahkan alias memperhatikan. Nah, ternyata maknanya berbeda 180 derajat dari yang banyak diyakini orang.
Tak perlu mencari siapa yang pertama kali “menghembuskan” kesalahan ini. Sia-sia dan membuang energi, karena kesalahan itu ternyata telah menjadi sebuah kesalahan umum. Yang penting untuk saat ini adalah bahwa kita sudah tahu makna kata “acuh” yang sebenarnya dan kita punya kesempatan untuk menyampaikan kebenaran itu pada orang lain yang masih belum mengetahui.
Sebagai manusia biasa, kita memang punya beberapa kekurangan. Dengan menyadari kekurangan-kekurangan yang kita miliki maka itu adalah langkah aman untuk menjalani hidup, baik kehidupan jasmani maupun rohani. Kita tidak akan menjadi orang yang sombong dan takabur. Ada empat jenis kekurangan yang kita miliki yaitu:
1.      Bhrama (bukan Brahma): yaitu kekurangan yang menyebabkan kita sering melakukan kesalahan, baik dalam pikiran, perkataan, maupun perbuatan;
2.      Pramada: kekuarang yang menyebabkan kita kurang perhatian, kurang fokus dan akhirnya terbawa oleh ilusi/khayalan/ imajinasi. Terhanyut oleh imajinasi, kita mengabaikan logika dan mengambil keputusan yang salah;
3.      Karanapatava: kekurangan dalam hal ketidak sempurnaan indria. Ketidak sempurnaan indria menyebabkan kita salah dalam memahami sesuatu. Hal ini juga bisa memunculkan kesalahpahaman;
4.      Vipralipsa: kekurangan yang menyebabkan kita menipu atau tertipu. Kita tidak hanya senang menipu demi kepentingan pribadi atau untuk cari selamat, tetapi kita juga senang ditipu dengan berbagai pencitraan.
Kekurangan-kekurangan ini mungkin tidak bisa dilenyapkan seluruhnya dari diri kita, tetapi kita bisa mengurangi pengaruhnya dalam hidup kita. Caranya adalah dengan melatih kesadaran bahwa kita memiliki kekurangan tersebuta dan harus waspada agar tak terjerumus dalam kesalahan yang lebih besar.
Carilah sumber kebenaran dari berbagai sumber, jangan hanya percaya dari satu sumber saja. Kalau ada yang mengatakan bahwa ada naga di sebuah desa, cobalah cari kebenarannya. Jangan-jangan hanya seekor belut. Kalau ada yang mengatakan sebuah kelompok rohani sebagai aliran sesat, cobalah dipelajari lebih jauh, siapa tahu yang mengatakan kelompok rohani itu aliran sesat adalah orang yang tidak suka belajar ilmu rohani dan tidak mau belajar mengendalikan diri.
Pada Rg Veda 1, 89, 1 ada ungkapan yang sangat kita kenal: a no bhadrah krtavo yantu vishvatah (semoga segala kemuliaan datang pada kami dari segala penjuru). Yang menjadi penting kemudian, setelah kebenaran itu datang, adalah hendaknya kita mampu menerima kebenaran yang datang dari segala penjuru tersebut. Setidaknya, menghormati. Jangan hanya mau menerima kebenaran yang kita yakini, tetapi tidak mau menerima atau menghormati kebenaran dari keyakinan orang lain. Dengan saling memahami dan menghargai maka hidup akan lebih damai.
Lakukanlah segalanya dengan didasari sumber-sumber sastra yang jelas, jangan melakukan hanya mengandalkan suka dan tidak suka atau dari membaca/mendengar pengetahuan yang sepotong-sepotong. Bhagavad gita 16, 24 mengajarkan : tasmac chastram pramanam te karyakarya-vyavasthitau, jnatva shastra-vidhanoktam karma kartum iharhasi (Oleh karena itu, engkau hendaknya mempergunakan kitab suci sebagai acuan dasar hukum dalam menentukan apa yang patut dilakukan dan apa yang tidak patut dilakukan, sesudah memahami hal itu dengan baik, maka lakukanlah tugas kewajibanmu sesuai dengan aturan-peraturan yang sudah ditetapkan di dalam kitab-kitab suci).
Bergurulah dan bertanyalah pada ahlinya. Kalau ingin belajar fisika, bergurulah pada ahli fisika. Kalau ingin belajar menjahit, bergurulah pada ahli jahit. Kalau ingin belajar ajaran spiritual, belajarlah pada yang sudah menjalani hidup spiritual. Jangan belajar atau berguru pada sumber yang salah. Kalau belajar pada guru yang salah, kita bukannya menjadi maju. Katha Upanishad 2, 5 mengajarkan: avidyayamantare vartamanah svayam dirah panditammanyamanah, dandramyamanah pariyanti mudha andhenaiva niyamana yathandhah (orang-orang yang tidak memiliki kecerdasan tetapi menganggap dirinya adalah orang bijaksana dan berpengetahuan tinggi akan membawa orang lain berjalan berputar-putar melalui jalan yang berliku, seperti orang buta menuntun orang buta). Orang yang tidak paham tetapi sok tahu sering kali menutupi ketidak tahuannya dengan argumen yang rumit dan berputar-putar. Kebenaran sangat mudah dijelaskan dengan kalimat sederhana, tetapi kebohongan perlu ribuan kata untuk menutupinya dan agar orang lain mau percaya.
Seperti halnya kata “acuh” yang sering disalah artikan, yang banyak dilakukan orang belum tentu kebenaran. Kebenaran sejati sering kali tersembunyi dalam kesunyian. Seperti orang mendulang emas atau intan dari lumpur, ketekunan kitalah yang akan membawa kita pada keberhasilan mendapatkan intan berlian spiritual. Kemalasan hanya akan membawa kita pada kepuasan mendapat serpihan-serpihan kaca.
Sarve sukhinah bhavantu.
Shantih.
07/01/2014

Disiplin Adalah Kecerdasan

Sepertinya disiplin masih menjadi barang langka di Indonesia. Di banyak tempat, khususnya di tempat-tempat umum, kita dengan mudah menjumpai ketidakdisiplinan. Sikap tidak disiplin justru seolah menjadi sesuatu yang wajar.

Bagi pembaca yang sering bepergian dengan pesawat terbang mungkin pernah melihat pramugari sampai harus mengingatkan penumpang yang masih berkomunikasi dengan telepon genggam padahal sudah ada pemberitahuan bahwa pesawat akan segera lepas landas dan semua alat yang menggunakan sinyal radio harus dimatikan. Peristiwa lain adalah, sejumlah penumpang sudah melepas sabuk pengamannya begitu roda pesawat baru menyentuh landasan. Petunjuk yang diberikan oleh awak pesawat adalah agar sabuk pengaman tetap dipakai sampai pesawat betul-betul berhenti dengan sempurna dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan. Demikian juga sudah ada penumpang yang mengaktifkan telepon genggamnya padahal awak kabin meminta penumpang pengaktifkan telepon genggam setelah tiba di ruang kedatangan.

Saya sempat berpikir, apakah para penumpang ini malu kalau menuruti petunjuk awak kabin dan petunjuk-petunjuk tentang keselamatan penerbangan? Malu kalau dikira baru pertama kali naik pesawat terbang? Berbicara tentang pertama kali, siapa yang tidak pernah mengalami pertama kali dalam segala hal? Kalau toh kita pertama kali naik pesawat terbang, apa salahnya? Mengapa harus malu? Mengapa pula harus malu untuk bersikap disiplin, terutama yang berhubungan dengan keselamatan?

Di jalan raya juga kita jumpai ketidak disiplinan, apalagi kalau tidak ada petugas polisi yang jaga. Ketika lampu merah sudah menyala dua detik masih saja ada yang menerobos. Di sisi lain, ada pengendara yang sudah menjalankan kendaraannya saat baru lampu kuning yang menyala. Dalam kondisi seperti ini kecelakaan sangat mungkin terjadi.

Belum lagi masalah sampah yang berserakan di mana-mana. Kita agak malas mencari tong sampah dan belum terbiasa mengantongi sampah. Saat bekerja di sebuah pabrik tekstil di Karawang, Jawa Barat, saya sangat sering melihat tenaga asing yang mengambil bungkus permen, bungkus rokok, bahkan puntung rokok yang ditemukan di area kerja dan memasukkannya ke dalam saku baju untuk kemudian dibuang begitu menemukan tong sampah. Kalau mereka sendiri yang memakan permen atau makanan kecil di tempat yang tidak ada tong sampah, mereka akan mengantongi bungkus permen/makanan tersebut dan membuangnya di tong sampah yang mereka temukan kemudian.
Saat menyaksikan balap Moto GP di Philip Island, Australia, saya melihat pria-pria berbadan kekar dan penuh tato begitu disiplin membuang sampah. Kaleng minuman yang telah kosong mereka injak terlebih dahulu sampai gepeng sebelum dimasukkan ke tong sampah khusus untuk kaleng. Tidak asal buang. Kaleng gepeng lebih hemat tempat dari pada yang masih berbentuk silinder. Mereka juga tertib merokok di tempat khusus untuk merokok serta membuang puntung rokok di tempat yang telah disediakan.

Kita sangat suka meniru gaya hidup orang barat demi dianggap modern, up to date, gaul, tetapi mengapa hanya pada cara berpakaian, model rambut, atau gaya makan? Yang kita tiru itupun hanya yang kita lihat melalui film yang dalam kehidupan nyata mereka belum tentu demikian. Mengapa kita tidak meniru sikap disiplin mereka?

Dengan disiplin, hidup akan lebih tertib, lingkungan menjadi lebih bersih dan sehat, hidup jadi lebih nyaman dan aman. Bersabarlah di jalan dan ikuti aturan lalu lintas demi keselamatan bersama. Memakai kendaraan sport di jalan raya bukan berarti boleh bersikap seperti pembalap karena jalan raya bukanlah sirkuit balap. Setelah ngemil di mobil jangan buang sampah ke luar jendela, bisa-bisa kena muka pengendara sepeda motor di belakang mobil kita. Demikian juga kalau mau meludah, hentikan mobil baru meludah. Sediakan asbak di mobil agar tak perlu membuang abu dan puntung rokok ke luar jendela. Sampah, bekas botol atau kaleng minuman yang dibuang sembarangan, dapat mencelaki orang lain.

Tak ada ruginya tetap memakai sabuk pengaman sampai pesawat benar-benar berhenti dengan sempurna. Kabarkan waktu boarding kita saat masih berada di ruang tunggu. Bisa juga dilakukan sambil antri di pintu ke luar dan matikan telepon genggam sebelum masuk pesawat. Demikian juga nyalakan telepon genggam setidaknya setelah berada di luar pesawat (kalau tidak sabar menunggu hingga sampai di terminal kedatangan).

Sikap disiplin bukan sesuatu yang memalukan. Bukan keterbelakangan. Justru sikap disiplin adalah sikap orang modern, sikap orang yang cerdas. Cerdas untuk memahami akibat buruk dari tindakan tidak disiplin.

Kedisiplinan memang harus ditanamkan sejak dini dan penanaman yang paling tepat adalah dengan menjadi contoh bagi anak-anak kita. Kitalah yang harus disiplin terlebih dahulu baru kita tularkan kedisiplinan itu pada anak-anak. Kita tidak bisa mengubah dunia, tetapi kita bisa mengubah dan membentuk diri kita sendiri. Kita tak perlu memaksa orang lain untuk disiplin, namun mulailah disiplin dari diri sendiri dan jadilah teladan bagi orang-orang terdekat di sekitar kita.

Sarwe sukhinah bhawantu, semoga semua makhluk berbahagia.
(widyastana)
(Telah dimuat di harian Surabaya Post tanggal 16 Juli 2013)

Seimbang dalam Kegagalan dan Keberhasilan

Tak seorang pun ingin gagal dalam mencapai harapannya, namun kadang kegagalan bisa dengan tiba-tiba menghadang di depan kita, bahkan ketika kita merasa sudah di “ujung jalan”, tinggal “selangkah” lagi untuk meraih sukses. Sebagian orang menerima kegagalannya dengan rasa kecewa dan penyesalan yang mendalam, sebagian yang lain menghadapinya dengan sikap hati yang tegar dan damai. Sebagian menganggap kegagalan adalah akhir hidupnya, sebagian lagi menerima kegagalan sebagai sebuah kesempatan untuk menjadi lebih baik.
Bhagawad gita adhyaya 2, shloka 38 mengajarkan,” sukha-duḥkhe same kṛtvā lābhālābhau jayājayau, tato yuddhāya yujyasva naivaṁ pāpam avāpsyasi” (Terimalah dengan cara yang sama antara suka dan duka, untung dan rugi, menang ataupun kalah. Setelah itu, sibukkanlah dirimu di dalam peperangan. Dengan demikian engkau tidak akan pernah dipengaruhi oleh dosa). Secara umum, peperangan berarti perjuangan dalam mencapai cita-cita. Perjuangan untuk berhasil dalam setiap usaha.
Menerima kegagalan dan kemenangan, keuntungan dan kerugian, suka dan duka, dengan cara yang sama, cara tenang dan damai, akan melepaskan diri kita dari stress. Mungkinkah kita bisa menjaga perasaan kita sama antara kalah dan menang, untung dan rugi, suka dan duka? Memang pasti ada bedanya perasaan ini saat menerima kemenangan dan ketika mengalami kekalahan. Diperlukan sebuah usaha untuk menjadikan pikiran dan jiwa kita seimbang ketika menerima salah satu dari keduanya. Tidak bersorak kegirangan saat suka dan tidak tunduk terpuruk saat duka. Meditasi bisa membantu proses keseimbangan bathin ini.
Sebagai umat yang percaya pada Tuhan, kita percaya bahwa kuasa Tuhan sangat berperan dalam hidup kita. Kita akan menerima atau kehilangan sesuatu dalam hidup ini sesuai dengan hitung-hitungan yang sempurna oleh Tuhan terhadap karma phala (hasil perbuatan) kita. Baik “sañcita karma phala” (perbuatan dahulu yang kita nikmati hasilnya sekarang). “prārabdha karma phala” (perbuatan sekarang yang kita nikmati hasilnya sekarang), maupun “kriyamāṇa karma phala” (perbuatan sekarang yang hasilnya kita terima kelak).
Ketakutan menjadi gagal sering menjadi pintu penghalang di awal langkah kita. Apa yang bisa kita dapatkan kalau untuk melangkah pun kita takut. Orang sukses bukanlah orang yang tak pernah gagal, tetapi orang yang selalu bisa bangkit dari kegagalannya dengan semangat yang lebih tinggi dan tekad yang lebih kuat untuk tetap melangkah hingga berhasil meraih yang dicita-citakan.
Kepada Arjuna, Shri Krshna bersabda, “karmaṇy evādhikāras te mā phaleṣu kadācana, mā karma-phala-hetur bhūr mā te saṅgo'stv akarmaṇi” (hakmu hanyalah pada pelaksanaan tugas kewajiban, dan sama sekali tidak pada pahala dari tugas kewajiban yang engkau lakukan. Jangan beranggapan engkau menjadi penyebab dari hasil perbuatan, dan jangan menjadi terikat untuk tidak melakukan tugas kewajibanmu. Bhagawad gita, 2, 47). Kata “adhikāra” berarti menguasai atau mengendalikan. Kita mampu sepenuhnya mengendalikan pekerjaan kita, tetapi kita tak sepenuhnya mampu mengendalikan hasil dari yang kita kerjakan. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil usaha kita. Oleh karena itu, kita dianjurkan hanya fokus pada pekerjaan kita tanpa berkhayal pada hasilnya. Walaupun tidak sepenuhnya bisa mengendalikan hasil dari pekerjaan, kita tetap harus bekerja sesuai kewajiban dan tanggung jawab yang telah diberikan. Berdiam diri tak akan menghasilkan apapun. Ada sebuah kalimat bijak yang mengatakan: Bila kau takut gagal, jangan melakukan apa pun. Tetapi, dengan tidak melakukan apa pun maka itu adalah kegagalan terbesar dalam hidupmu.
Bila kita telah melaksanakan tugas kewajiban kita dengan sungguh-sungguh dan selalu ada di jalan Dharma maka apa pun hasilnya itulah yang terbaik. Tuhan tidak akan menimpakan dosa pada kita. Seorang prajurit yang membela tanah air akan dibebaskan dari dosa karena membunuh musuh. Sebagai orang tua yang telah memberikan pendidikan lahir batin pada anak akan dibebaskan dari dosa bila akhirnya si anak tak menurut nasihat orang tuanya dan kemudian gagal dalam hidupnya. Seorang guru yang telah menjalankan tugasnya dengan baik tidak akan disalahkan kalau ada siswanya yang gagal dalam pendidikan karena hal ini pasti bukan kesalahan guru.
duḥkheṣv anudvigna-manāḥ sukheṣu vigata-spṛhaḥ, vīta-rāga-bhaya-krodhaḥ sthita-dhīr munir ucyate (Orang yang pikirannya tidak tergoyahkan di dalam duka, tidak riang berlebihan di dalam keadaan suka, bebas dari ikatan, kecemasan dan kemarahan, dia disebut sebagai seorang “muni” yang memiliki kesadaran yang mantap). Kembali kita diingatkan untuk bersikap seimbang dalam suka dan duka. Jangan gundah dikala duka, jangan berlebihan ketika bahagia. Kata “muni” berarti orang yang sudah mantap dalam kehidupan rohani. Orang yang sudah seimbang dalam suka dan duka serta bebas dari keterikatan, kecemasan, dan kemarahan layak disebut sebagai seorang “muni”, seorang spiritualis.
Kepada para siswa yang baru saja menyelesaikan Ujian Nasional, terimalah apa pun hasilnya dengan damai. Percayalah, kepada umat-Nya yang selalu berbhakti, Tuhan selalu memberi yang terbaik. Hanya karena keterbatasan kitalah maka kita sering tidak bisa memahami kehendak-Nya hingga pada suatu saat nanti kita akan menyadari mengapa hari ini kita menerima situasi seperti ini.
Selamat berkarya. Semoga semua makhluk berbahagia. (widyastana)
(Telah dimuat di harian Surabaya Post tanggal 14 Mei 2013)


Meditasi Bukan Sekedar Gaya Hidup

Meditasi semakin dikenal dan diminati oleh banyak orang tanpa memandang latar belakang ras, suku, agama, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman indah dari orang-orang yang telah mempraktikan meditasi menjadi hal yang menarik sehingga menumbuhkan keinginan semakin banyak orang untuk mencoba laku meditasi.

Walau meditasi telah dikenal luas, tetapi belum banyak yang menyadari bahwa meditasi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Bila mau dicermati, meditasi adalah 3 bagian akhir dari Añöāìga Yoga atau Delapan (aṣṭa) Tahapan (aṅga) untuk mendekatkan diri pada Tuhan (yoga berasal dari kata yuj yang berarti mendekat atau bergabung) yang terdiri dari:
1.      Yama (pengendalian pikiran): satya (kebenaran), asteya (tidak menginginkan milik orang lain), aparigraha (tidak serakah), brahmacarya (pengendalian nafsu seksual), dan ahiṁsā (tanpa kekerasan, baik fisik maupun non fisik);
2.      Niyama (pengendalian diri): śauca (menjaga kebersihan lahir batin), santoña (selalu berpuas hati dalam segala keadaan), tapa (pengendalian diri dalam berpikir, berkata, dan bertingkah laku), svādhyāya (tekun belajar dan melaksanakan ajaran-ajaran suci dan petunjuk guru), dan īśvarapraṇidhana (tekun memuja Tuhan Yang Maha Esa);
3.      Prāṇāyāma : Teknik memahami dan menyadari masuk dan keluarnya nafas. Prāṇa” berarti “nafas hidup” dan “āyāma” berarti raja;
4.      Āsana : sikap-sikap tubuh yang dipadukan dengan pengaturan nafas yang membawa kepada kesehatan lahir dan bathin. Misalnya: padmāsana, sarvāṅgāsanaśīrṣāsana, dan lain-lain. Surya Namaskara merupakan rangkaian gerakan āsana. Gerakan-gerakan āsana ini yang sering secara sempit diartikan sebagai yoga;
5.      Prātyāhāra : pengendalian indria-indria.
6.      Dharaṇa : memusatkan pikiran pada sebuah obyek meditasi yang bersifat spiritual;
7.      Dhyāna : yaitu tahap menyadari obyek itu sebagai bagian dari diri kita, ada di dalam diri kita;
8.      Samādhi : merupakan tahap ketika kita sampai pada kesadaran bahwa obyek dan kita adalah satu, tak terpisahkan.

Secara ideal delapan tahapan ini seharusnya dijalankan dengan baik. Sayangnya, dalam dunia yang semakin instant ini, kebanyakan orang ingin langsung masuk ke tahapan meditasi tanpa menyempurnakan diri di tahapan sebelumnya. Para Guru rohanipun melakukan teknik menyusupkan ajaran-ajaran Aṣṭāṅga Yoga kepada murid-muridnya secara perlahan sambil membimbing mereka belajar meditasi sesuai keinginan sang murid.

Dari mereka yang tertarik untuk menekuni meditasi ada yang langsung berani mencoba, tetapi ada juga yang masih ragu. Keraguan terbesar adalah masalah konsentrasi. Orang-orang yang sudah menekuni meditasi pun sering bertanya-tanya, “Mengapa saya belum bisa memusatkan pikiran dengan baik?” atau “Sudah sampai di mana kemajuan saya?” atau “Apa yang sudah saya dapatkan dari meditasi yang dilakukan selama sekian waktu ini?”

Pikiran ini memang liar. Dikatakan bahwa pikiran itu lebih cepat dari angin. Bahkan mungkin lebih cepat dari cahaya. Meditasi dalam tahap "dharana" adalah tahap untuk belajar mengendalikan pikiran yang liar tersebut. Diperlukan ketekunan dan kesungguhan untuk berlatih setiap waktu. Salah satu teknik meditasi yang penulis tekuni, yaitu Meditasi Angka, menyediakan sebuah teknik yang sangat sederhana bagi kita yang super sibuk menjalani hidup yaitu teknik meditasi 5 menit. Teknik ini sangat cocok bagi pemula.

Untuk menghadapi keraguan dalam bermeditasi, mari kita menyimak percakapan antara Arjuna dan Shri Krshna yang tercantum dalam Bhagavad gītā. Arjuna bertanya pada Śrī Kṛṣṇa, "Orang-orang yang dengan penuh keyakinan melakukan latihan yoga, tetapi belum mampu mengendalikan dirinya, belum mampu memusatkan pikirannya, belum mampu mencapai kesempurnaan hidup rohaninya, wahai Krshna, apakah yang bisa mereka capai? Apakah mereka tidak akan tersesat, sia-sia, sirna segala usahanya bagaikan awan disapu angin, tercerai berai, lenyap tanpa pegangan, menjadi bingung dalam jalan menuju Tuhan?"

Pertanyaan Arjuna di atas mungkin juga pertanyaan kita semua. Bertahun-tahun berlatih meditasi tanpa mampu berkonsentrasi, tidakkah ini sia-sia? Keputusasaan sering
berusaha menyelinap ke dalam benak dan mencoba menggiring untuk berhenti dan menganggap meditasi sebagai sesuatu yang sia-sia dan buang-buang waktu.

Menjawab pertanyaan Arjuna, Śrī Kṛṣṇa bersabda, "Wahai Arjuna, mereka tidaklah sia-sia dalam kehidupan saat ini ataupun nantinya. Setiap kegiatan yang dilandasi oleh niat-niat mulia yang tulus tak akan mengalami kegagalan. Dilandasi kegiatan-kegiatan mulia yang telah mereka lakukan dan setelah menikmati hasilnya di dunia sana, mereka akan terlahir kembali dalam keluarga-keluarga yang menjalani hidup suci. Ini adalah kesempatan yang sangat sulit dicapai. Mereka akan mengingat kembali sadhana mereka di kehidupan sebelumnya dan mereka akan melanjutkannya untuk mencapai kesempurnaan." Niat untuk menekuni jalan rohani merupakan tanda bahwa seseorang mengingat kembali jalan rohani yang pernah ditekuni dalam kehidupan sebelumnya.

Demikian percakapan Śrī Kṛṣṇa dan Arjuna mengenai hasil yang didapat oleh orang-orang yang tekun dalam melatih diri menempuh jalan hidup rohani. Walau tak sempurna, hasil baik akan tetap diperoleh. Tak perlu ada keraguan lagi karena setiap perbuatan yang dilandasi kasih bhakti pada Tuhan tak akan menemui kegagalan.

Meditasi adalah sebuah jalan rohani untuk meningkatkan kesadaran kita pada Sang Pencipta dan  harus dilakukan  dengan tekun, berkesinambungan, penuh keyakinan, dan sederhana. Meditasi bukanlah klenik yang mengarah pada hal-hal gaib seperti banyak diduga orang. Meditasi bukan pula sekedar refreshing pengisi waktu luang. (widyastana)

(Telah dimuat di harian Surabaya Post tanggal 06 November 2012)
0

"Mengkritisi Penonjolan Paham Siwa Sidhanta" oleh Made Kembar Kerepun

 Sebuah tulisan yang dikirimkan oleh swargya Bpk. I Made Kembar Kerepun Untuk membaca, silakan klik di sini  Mengkritisi Penonjolan Paham Si...