Semoga tidak terlalu terlambat untuk
mengucapkan Selamat Tahun Baru 2014 kepada segenap jajaran Surabaya Post dan
seluruh pembaca. Semoga kita masih diijinkan untuk terus belajar berbenah diri,
menemukan kebenaran sejati, serta menjauhkan diri dari segala yang salah dan
tidak baik.
Saya sering membaca atau mendengar
penggunaan kata “acuh” yang tidak tepat. Ya, banyak orang yang mengira
(meyakini) bahwa kata “acuh” bermakna tidak peduli atau dalam bahasa gaulnya
adalah “cuek”. Padahal, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “acuh”
berarti mengindahkan atau peduli. “Mengacuhkan” berarti memedulikan,
mengindahkan alias memperhatikan. Nah, ternyata maknanya berbeda 180 derajat
dari yang banyak diyakini orang.
Tak perlu mencari siapa yang pertama
kali “menghembuskan” kesalahan ini. Sia-sia dan membuang energi, karena
kesalahan itu ternyata telah menjadi sebuah kesalahan umum. Yang penting untuk
saat ini adalah bahwa kita sudah tahu makna kata “acuh” yang sebenarnya dan
kita punya kesempatan untuk menyampaikan kebenaran itu pada orang lain yang
masih belum mengetahui.
Sebagai manusia biasa, kita memang
punya beberapa kekurangan. Dengan menyadari kekurangan-kekurangan yang kita
miliki maka itu adalah langkah aman untuk menjalani hidup, baik kehidupan jasmani
maupun rohani. Kita tidak akan menjadi orang yang sombong dan takabur. Ada
empat jenis kekurangan yang kita miliki yaitu:
1. Bhrama (bukan Brahma):
yaitu kekurangan yang menyebabkan kita sering melakukan kesalahan, baik dalam
pikiran, perkataan, maupun perbuatan;
2. Pramada: kekuarang yang menyebabkan kita kurang perhatian, kurang
fokus dan akhirnya terbawa oleh ilusi/khayalan/ imajinasi. Terhanyut oleh
imajinasi, kita mengabaikan logika dan mengambil keputusan yang salah;
3. Karanapatava: kekurangan dalam hal ketidak sempurnaan indria. Ketidak
sempurnaan indria menyebabkan kita salah dalam memahami sesuatu. Hal ini juga
bisa memunculkan kesalahpahaman;
4. Vipralipsa: kekurangan yang menyebabkan kita menipu atau tertipu. Kita
tidak hanya senang menipu demi kepentingan pribadi atau untuk cari selamat,
tetapi kita juga senang ditipu dengan berbagai pencitraan.
Kekurangan-kekurangan ini mungkin
tidak bisa dilenyapkan seluruhnya dari diri kita, tetapi kita bisa mengurangi
pengaruhnya dalam hidup kita. Caranya adalah dengan melatih kesadaran bahwa
kita memiliki kekurangan tersebuta dan harus waspada agar tak terjerumus dalam
kesalahan yang lebih besar.
Carilah sumber kebenaran dari
berbagai sumber, jangan hanya percaya dari satu sumber saja. Kalau ada yang
mengatakan bahwa ada naga di sebuah desa, cobalah cari kebenarannya.
Jangan-jangan hanya seekor belut. Kalau ada yang mengatakan sebuah kelompok
rohani sebagai aliran sesat, cobalah dipelajari lebih jauh, siapa tahu yang
mengatakan kelompok rohani itu aliran sesat adalah orang yang tidak suka
belajar ilmu rohani dan tidak mau belajar mengendalikan diri.
Pada Rg Veda 1, 89, 1 ada ungkapan
yang sangat kita kenal: a no bhadrah
krtavo yantu vishvatah (semoga segala kemuliaan datang pada kami dari
segala penjuru). Yang menjadi penting kemudian, setelah kebenaran itu datang,
adalah hendaknya kita mampu menerima kebenaran yang datang dari segala penjuru
tersebut. Setidaknya, menghormati. Jangan hanya mau menerima kebenaran yang
kita yakini, tetapi tidak mau menerima atau menghormati kebenaran dari
keyakinan orang lain. Dengan saling memahami dan menghargai maka hidup akan
lebih damai.
Lakukanlah
segalanya dengan didasari sumber-sumber sastra yang jelas, jangan melakukan
hanya mengandalkan suka dan tidak suka atau dari membaca/mendengar pengetahuan
yang sepotong-sepotong. Bhagavad gita 16, 24 mengajarkan : tasmac chastram
pramanam te karyakarya-vyavasthitau, jnatva shastra-vidhanoktam karma kartum
iharhasi (Oleh karena itu, engkau hendaknya mempergunakan
kitab suci sebagai acuan dasar hukum dalam menentukan apa yang patut dilakukan
dan apa yang tidak patut dilakukan, sesudah memahami hal itu dengan baik, maka
lakukanlah tugas kewajibanmu sesuai dengan aturan-peraturan yang sudah
ditetapkan di dalam kitab-kitab suci).
Bergurulah
dan bertanyalah pada ahlinya. Kalau ingin belajar fisika, bergurulah pada ahli
fisika. Kalau ingin belajar menjahit, bergurulah pada ahli jahit. Kalau ingin
belajar ajaran spiritual, belajarlah pada yang sudah menjalani hidup spiritual.
Jangan belajar atau berguru pada sumber yang salah. Kalau belajar pada guru
yang salah, kita bukannya menjadi maju. Katha Upanishad 2, 5 mengajarkan: avidyayamantare vartamanah svayam dirah
panditammanyamanah, dandramyamanah pariyanti mudha andhenaiva niyamana
yathandhah (orang-orang yang tidak memiliki kecerdasan tetapi menganggap
dirinya adalah orang bijaksana dan berpengetahuan tinggi akan membawa orang
lain berjalan berputar-putar melalui jalan yang berliku, seperti orang buta
menuntun orang buta). Orang yang tidak paham tetapi sok tahu sering kali
menutupi ketidak tahuannya dengan argumen yang rumit dan berputar-putar. Kebenaran sangat mudah dijelaskan
dengan kalimat sederhana, tetapi kebohongan perlu ribuan kata untuk menutupinya
dan agar orang lain mau percaya.
Seperti
halnya kata “acuh” yang sering disalah artikan, yang banyak dilakukan orang
belum tentu kebenaran. Kebenaran sejati sering kali tersembunyi dalam
kesunyian. Seperti orang mendulang emas atau intan dari lumpur, ketekunan
kitalah yang akan membawa kita pada keberhasilan mendapatkan intan berlian
spiritual. Kemalasan hanya akan membawa kita pada kepuasan mendapat
serpihan-serpihan kaca.
Sarve
sukhinah bhavantu.
Shantih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar