Belakangan ini media massa begitu sering menyajikan berita
perkelahian antar warga di sejumlah daerah di Indonesia. Rasanya berita semacam
ini datang silih berganti, seakan tak pernah berhenti. Belum selesai kasus di
satu daerah sudah muncul kejadian di daerah lain. Tak hanya materi menjadi
korban, nyawa pun melayang. Yang menderita tak hanya pelaku, mereka yang tak
tahu ujung pangkal permasalahan pun turut berduka.
Para pelaku keributan seolah tak peduli pada milik dan
nyawa orang lain. Bagi mereka, kepuasan melampiaskan amarah telah menjadi
panglima di kepalanya. Negeri ini bagaikan negara tanpa hukum dan penegak
hukum. Semua masalah seolah harus diselesaikan dengan tumpahan darah.
Kita yang berada di luar “lingkaran kasus” memang tak akan
pernah memahami secara keseluruhan pola pikir mereka, yang memilih jalan
kekerasan dalam menghadapi masalah, tetapi kita bisa belajar bahwa kekerasan
tak kan pernah menyelesaikan masalah secara tuntas. Dendam di pihak A terhadap
pihak B saat itu mungkin terbalas, tetapi di pihak B akan muncul dendam baru
terhadap pihak A dan menjadi “bom waktu” yang bisa meledak setiap saat dalam
bentuk kekerasan baru.
Kita pun mungkin tak mampu menuntaskan masalah yang mereka
hadapi (dan hanya bisa mengelus dada, prihatin), namun kita masih bisa belajar
bahwa amarah tak hanya mampu membakar hati, tetapi juga sebuah desa. Tak hanya
membunuh sebuah logika, tetapi beberapa keluarga. Amarah tak hanya membuat
gelap mata, tetapi gelapnya harapan dan masa depan para korban.
Dari manakah datangnya amarah? Secara duniawi amarah bisa
datang karena kehilangan sesuatu/seseorang yang kita cintai, karena penghinaan
atau pelecehan, kebencian, dan dendam. Secara rohani amarah muncul dari adanya
keterikatan diri kita terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita seperti yang
disampaikan oleh Śhrī Kṛṣṇa kepada Arjuna yang termuat dalam Bhagavad gītā ,
dhyāyato viṣayān puṁsaḥ saṅgas
teṣūpajāyate, saṅgāt sañjāyate kāmaḥ kāmāt krodho’bhijāyate [Orang-orang
yang selalu memusatkan pikirannya
pada obyek-obyek indria, maka keterikatan pada obyek-obyek indria itu akan tumbuh. Dari keterikatan tersebut akan muncul hawa nafsu, (dan) dari
hawa nafsu muncullah kemarahan. (Bhagavad gītā, II, 62)]
krodhād bhavati sammohaḥ sammohāt smṛti-vibhramaḥ,
smṛti-bhraṁśād buddhi-nāśo buddhi-nāśāt praṇaśyati [Dari kemarahan
muncullah kebingungan yang kuat, akibat kebingungan yang kuat
maka ingatan menjadi kacau. Ketika
ingatan menjadi kacau balau maka kecerdasan menjadi binasa. Akibat binasanya
kecerdasan maka orang mengalami kehancuran dirinya. (Bhagavad gītā, II, 63)]
Dua sloka dari kitab yang agung ini, yang merupakan wacana
suci Tuhan sendiri, dalam wujud Śrī Kṛṣṇa, telah menunjukkan penyebab kemarahan
dan akibat dari kemarahan itu yaitu kehancuran diri kita sendiri. Lalu, apa
gunanya menghancurkan diri sendiri?
Selanjutnya Śrī Kṛṣṇa mengajarkan,
rāga-dveṣa-vimuktais tu viṣayān indriyaiś
caran, ātma-vaśyair vidheyātmā prasādam adhigacchati [Tetapi orang yang mantap
didalam dirinya menjadi terbebaskan dari rasa suka dan rasa tidak suka, memiliki kemampuan mengendalikan indria-indria dengan obyek-obyek indrianya, maka ia
mencapai kebersihan hati. (Bhagavad gītā, II, 64)]
Demikianlah ajaran Tuhan agar kita selalu
mengendalikian diri, tidak dikuasai oleh indria-indria dan obyek-obyek duniawi.
Mantap di dalam diri berarti dia yang telah mampu mengendalikan dan mengusai
dirinya dengan baik sehingga pikirannya tidak terombang-ambing kesana-kemari.
Orang yang telah memiliki kemantapan diri tidak akan berduka saat kehilangan
dan kegirangan saat mendapatkan karena sesungguhnya tak ada yang benar-benar
menjadi milik kita. Hanya hadir dalam kurun waktu tertentu yang terbatas untuk
kemudian pergi dengan berbagai cara.
Harus diakui memang tidak mudah mengendalikian diri. Tak
mudah menganggap sesuatu yang kita miliki sesungguhnya bukan milik kita. Tak
mudah merelakan orang yang kita cintai pergi meninggalkan kita selamanya. Tak
mudah mengikhlaskan milik kita dirampas. Tak mudah pula bersikap damai manakala
penghinaan, pelecehan, ketidak adilan, dan kekerasan menimpa kita. Akan tetapi,
kalau Tuhan mengajarkan kita untuk melakukan hal tersebut, itu artinya kita,
manusia, mampu melakukannya.
Di antara semua ciptaan Tuhan, manusia memiliki keunggulan
yang dalam Bahasa Sansekerta disebut “wiweka” atau kemampuan untuk membedakan
hal yang baik dan hal yang buruk, yang patut dan tidak patut, yang benar dan
yang salah. Dengan “wiweka” inilah kita arahkan hidup kita menuju kebaikan demi
terwujudnya kedamaian.
Mari kita sama-sama berusaha mengendalikan diri agar tidak
ada lagi kekerasan-kekerasan yang menelan korban harta benda dan jiwa. Mari
kita sama-sama menjaga diri agar tidak terjerumus dalam amarah tak terkendali.
Mari kita bina kerukunan dan persaudaraan tanpa memandang latar belakang suku,
ras, keyakinan, kelahiran, dan latar belakang duniawi lainnya. Jangan mudah
terhasut oleh gosip atau berita yang belum jelas kebenarannya.
Sebuah kata bijak mengatakan: seribu sahabat masihlah
sedikit, seorang musuh teramat banyak. Dengan mempunyai sahabat dan kerabat di
banyak tempat hidup akan menjadi lebih indah dan lebih mudah. Kemana pun pergi,
ada keramahan yang menanti. Sebaliknya, kalau punya satu musuh saja, dunia
menjadi sempit dan penuh kesulitan. Setiap langkah penuh ketakutan. Oleh
karenanya, hindari permusuhan, pupuk persaudaraan. Vasudhaiva kuṭumbakam : semua mahluk adalah keluarga.
Lokāḥ samastāḥ sukhino bhavantu, semoga semua mahluk damai sejahtera.
(widyastana)
(Telah dimuat di harian sore Surabaya Post tanggal 11 Desember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar